- Home
- /
- Kabar Finansial
- /
- Bursa
Skandal Minna Padi: Janjikan Untung Besar-Besaran, Berakhir Buntung Tak Berkesudahan
Sudah Setahun Berlalu, Nasabah Minna Padi Terus Dipaksa Menunggu
Tak kurang dari Rp6 triliun dana nasabah mengendap begitu saja akibat pembubaran enam reksa dana Minna Padi. Perjuangan untuk mendapatkan kembali hak tersebut terus dilakukan oleh para nasabah. Namun, hingga kini mereka masih terus dipaksa menunggu untuk pengembalian dana tersebut.
Berdasarkan data yang diterima WE Online, Minna Padi telah mneyelesaikan pembayaran dana tahap I kepada nasabah pada 11 Maret 2020 lalu. Itu pun nasabah baru menerima pembayaran rata-rata sebesar 20% dari seluruh dana yang mereka investasikan. Lama tak mendapat kepastian, nasabah Minna Padi mulai resah dan menuntut haknya untuk segera dikembalikan.
Dengan catatan pengembalian tahap I sebesar 20%, itu artinya Minna Padi masih berhutang sekitar 80% atau setara Rp4,8 triliun kepada nasabah. Oleh karena itu, upaya terus dilakukan nasabah untuk memperjuangkan haknya, mulai dari mendatangi OJK sampai melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI pada 25 Agustus 2020 lalu.
Salah satu perwakilan nasabah MPAM, Yanti, mengungkapkan bahwa pihak MPAM pernah menjanjikan bahwa akan melunasi sisa pembayaran pada Mei 2020, namun kenyataannya sampai saat ini janji itu tak dipenuhi. Alhasil, nasib para nasabah digantung begitu saja selama hampir setahun terakhir ini.
Dalam keterangannya, Yanti menyebut manajemen MPAM selalu beralasan bahwa sanksi yang dijatuhkan OJK menyebabkan perusahaan sulit membayar kewajibannya kepada nasabah.
"Nasabah juga kecewa dan geram karena pada kenyataannya sanksi OJK atas pelanggaran MPAM tersebut dijadikan alasan oleh MPAM untuk tidak membayar kepada nasabah-nasabah. Yang lebih parah lagi adalah OJK telah memberikan kompromi-kompromi kepada MPAM untuk tidak membayar dalam 7 hari bursa," tegasnya secara tertulis pada Senin, 14 September 2020 lalu.
Lebih lanjut, Yanti juga membeberkan bahwa nasabah sempat ditawarkan alternatif pembayaran dalam bentuk saham. Namun, tawaran itu ditolak karena menganggap tidak ada dasar hukum yang menyatakan MPAM dapat membayar nasabah dalam bentuk saham atau bentuk lainnya selain uang tunai.
"Sejauh ini, pembayaran reksa dana yang ada adalah dengan cash dari hasil Unit X NAB. Banyak nasabah menjadi bingung dan mungkin juga ikut mengirim surat tersebut ke OJK tanpa sadar akan implikasinya," lanjutnya lagi.
Pada akhir keterangannya, Yanti meminta kepada OJK untuk menjalankan fungsinya sebagai regulator dalam melindungi masyarakat atau nasabah. Ia berharap OJK dapat memberi penjelasan dan tidak menempatkan nasabah MPAM sebagai korban atas kesalahan yang dilakukan perusahaan pengelola investasi itu.
"Oleh karena itu nasabah meminta penjelasan kepada OJK kenapa MPAM yang bersalah, dan dikenakan sanksi, tapi menjadikan nasabah sebagai korban," imbuh Yanti.
Sementara itu, beberapa waktu lalu OJK sempat menyatakan bahwa MPAM saat ini masih dalam proses likuidasi atas enam reksa dana yang dikelola itu. OJK juga meminta komitmen MPAM untuk menyelesaikan proses tersebut dan melaporkannya kepada OJK.
"Pembagian hasil likuidasi tahap I telah dilaksanakan pada tanggal 11 Maret 2020 kepada seluruh investor dari 6 reksa dana. OJK meminta MI (manajer investasi) untuk menjalankan komitmennya dalam penyelesaian proses likuidasi selanjutnya dan melaporkan kepada OJK," tutur Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot, pada 9 Juni 2020 lalu seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Lestari Ningsih
Editor: Lestari Ningsih