Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Skandal Minna Padi: Janjikan Untung Besar-Besaran, Berakhir Buntung Tak Berkesudahan

Skandal Minna Padi: Janjikan Untung Besar-Besaran, Berakhir Buntung Tak Berkesudahan Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Investasi sejatinya dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan di masa depan atas modal yang dikeluarkan saat ini. Alhasil, janji dapat memberikan keuntungan besar pun kerap menjadi jalan ninja bagi sejumlah pihak untuk menarik hati nasabah, termasuk di antaranya adalah Minna Padi Aset Manajemen (MPAM). 

Namun nahas, iming-iming pengembalian investasi (return) yang tinggi untuk produk reksa dana yang dikelolanya justru berujung kerugian bagi nasabah yang nilainya mencapai triliunan rupiah. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana perkembangan kasus tersebut? Simak ulasan berikut ini.

Baca Juga: Kisah Kelam Skandal Gagal Bayar Kresna Life: Nasabah Gigit Jari, Haknya Tak Dipenuhi

Janjikan Return Tinggi, Minna Padi Langgar Aturan Investasi

Kasus Minna Padi sudah bergulir sejak Oktober 2019 silam. Berawal dari investigasi yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), MPAM terbukti melanggar aturan investasi yang berkenaan dengan aktivitas penjualan produk reksa dana. 

Pelanggaran yang dilakukan Minna Padi adalah menjual dua produk reksa dengan menjanjikan imbal hasil pasti (fixed retun) sebesar 11% dalam waktu 6 hingga 12 bulan. Kedua produk tersebut adalah Reksa Dana Minna Padi Pasopati Saham dan Reksa Dana Minna Padi Pringgondani Saham yang dipasarkan melalui cabang Minna Padi di Pantai Indah Kapuk, Jakarta.

Hal inilah yang kemudian disoroti oleh OJK, di mana dalam investasi tidak ada yang namanya imbal hasil yang pasti. Sebab, seluruhnya akan fluktuatif mengikuti harga pasar. Bukan hanya itu, Minna Padi juga didapati menjual produk investasi berbasis jual beli kembali alias gadai (repurchase agreement/repo).

Baca Juga: Kresna Buka Suara Soal 24 Reksa Dana yang Distop OJK

Lantaran terbukti melanggar, OJK kemudian menjatuhkan sanksi penghentian sementara (suspensi) atas dua produk reksa dana tersebut sejak tanggal 9 Oktober 2019. Sanksi tersebut termaktub dalam surat OJK Nomor S-1240/PM.21/2019. Dengan suspensi tersebut, Minna Padi tidak diperbolehkan membentuk reksa dana baru, melakukan kontrak pengelolaan efek nasabah baru, dan menjual unit baru untuk produk yang sudah diterbitkan oleh MPAM. 

Sebagai catatan, sampai dengan dijatuhkan sanksi suspensi, MPAM tercatat mengelola dana reksa dana sebesar Rp6,87 triliun. Angka tersebut bertumbuh Rp2,31 triliun dalam priode sembilan bulan terakhir.

OJK Bubarkan Enam Produk Reksa Dana Minna Padi

Masih berkaitan dengan pelanggaran berupa iming-iming fixed return, OJK kemudian memerintahkan kepada Minna Padi untuk membubarkan dan melikuidasi enam produk reksa dana yang ia kelola.

Berikut adalah daftar reksa dana Minna Padi yang dibubarkan OJK.

1. Reksa Dana Minna Padi Pringgondani Saham,

2. Reksa Dana Minna Padi Pasopati Saham,

3. Reksa Dana Minna Padi Amanah Saham Syariah,

4. Reksa Dana Minna Padi Hastinapura Saham,

5. Reksa Dana  Minna Padi Property Plus, dan 

6. Reksa Dana Minna Padi Keraton II.

Perintah tersebut disampaikan oleh OJK melalui surat Nomor S-1442/PM.21/2019 pada 22 November 2019 atau sebulan setelah sanksi suspensi dijatuhkan ke Minna Padi.

"Selanjutnya perlu kami sampaikan pula bahwa dalam melakukan kegiatan usaha sebagai manajer investasi, MPAM wajib selalu mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegas Kepala Departemen Pengawasan PAsar Modal 2A OJK, Yunita Linda Sari, pada November 2019 lalu.

Baca Juga: Awas! Gara-Gara Ini, Investasi Emas Bisa Berujung Nahas!

Dengan terbitnya surat tersebut, MPAM diberi waktu hingga 60 hari bursa untuk melakukan proses pembubaran dan likuidasi keenam reksa dana tersebut. MPAM akhirnya resmi dibubarkan pada 25 November 2020. Sayangnya, sampai dengan Februari 2020, manajemen MPAM mengaku masih kesulitan untuk melikuidasi reksa dana tersebut. Direktur MPAM, Budi Wihartanto, mengatakan bahwa tenggat waktu yang terbatas menjadi salah satu faktor yang membuat MPAM sulit menjual portofolio efek dengan maksimal.

"Melihat kondisi market yang kurang kondusif serta keterbatasan waktu yang dipersyaratkan, kami kesulitan untuk menjual portofolio efek dengan hasil yang maksimal. Hal ini juga menyebabkan masih ada sebagian besar portofolio efek yang masih belum terjual," tegasnya dalam keterangan pers pada 6 Februari 2020 lalu.

Sudah Setahun Berlalu, Nasabah Minna Padi Terus Dipaksa Menunggu

Tak kurang dari Rp6 triliun dana nasabah mengendap begitu saja akibat pembubaran enam reksa dana Minna Padi. Perjuangan untuk mendapatkan kembali hak tersebut terus dilakukan oleh para nasabah. Namun, hingga kini mereka masih terus dipaksa menunggu untuk pengembalian dana tersebut.

Berdasarkan data yang diterima WE Online, Minna Padi telah mneyelesaikan pembayaran dana tahap I kepada nasabah pada 11 Maret 2020 lalu. Itu pun nasabah baru menerima pembayaran rata-rata sebesar 20% dari seluruh dana yang mereka investasikan. Lama tak mendapat kepastian, nasabah Minna Padi mulai resah dan menuntut haknya untuk segera dikembalikan. 

Dengan catatan pengembalian tahap I sebesar 20%, itu artinya Minna Padi masih berhutang sekitar 80% atau setara Rp4,8 triliun kepada nasabah. Oleh karena itu, upaya terus dilakukan nasabah untuk memperjuangkan haknya, mulai dari mendatangi OJK sampai melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI pada 25 Agustus 2020 lalu. 

Salah satu perwakilan nasabah MPAM, Yanti, mengungkapkan bahwa pihak MPAM pernah menjanjikan bahwa akan melunasi sisa pembayaran pada Mei 2020, namun kenyataannya sampai saat ini janji itu tak dipenuhi. Alhasil, nasib para nasabah digantung begitu saja selama hampir setahun terakhir ini. 

Dalam keterangannya, Yanti menyebut manajemen MPAM selalu beralasan bahwa sanksi yang dijatuhkan OJK menyebabkan perusahaan sulit membayar kewajibannya kepada nasabah. 

"Nasabah juga kecewa dan geram karena pada kenyataannya sanksi OJK atas pelanggaran MPAM tersebut dijadikan alasan oleh MPAM untuk tidak membayar kepada nasabah-nasabah. Yang lebih parah lagi adalah OJK telah memberikan kompromi-kompromi kepada MPAM untuk tidak membayar dalam 7 hari bursa," tegasnya secara tertulis pada Senin, 14 September 2020 lalu.

Lebih lanjut, Yanti juga membeberkan bahwa nasabah sempat ditawarkan alternatif pembayaran dalam bentuk saham. Namun, tawaran itu ditolak karena menganggap tidak ada dasar hukum yang menyatakan MPAM dapat membayar nasabah dalam bentuk saham atau bentuk lainnya selain uang tunai.

"Sejauh ini, pembayaran reksa dana yang ada adalah dengan cash dari hasil Unit X NAB. Banyak nasabah menjadi bingung dan mungkin juga ikut mengirim surat tersebut ke OJK tanpa sadar akan implikasinya," lanjutnya lagi.

Pada akhir keterangannya, Yanti meminta kepada OJK untuk menjalankan fungsinya sebagai regulator dalam melindungi masyarakat atau nasabah. Ia berharap OJK dapat memberi penjelasan dan tidak menempatkan nasabah MPAM sebagai korban atas kesalahan yang dilakukan perusahaan pengelola investasi itu.

"Oleh karena itu nasabah meminta penjelasan kepada OJK kenapa MPAM yang bersalah, dan dikenakan sanksi, tapi menjadikan nasabah sebagai korban," imbuh Yanti.

Sementara itu, beberapa waktu lalu OJK sempat menyatakan bahwa MPAM saat ini masih dalam proses likuidasi atas enam reksa dana yang dikelola itu. OJK juga meminta komitmen MPAM untuk menyelesaikan proses tersebut dan melaporkannya kepada OJK.

"Pembagian hasil likuidasi tahap I telah dilaksanakan pada tanggal 11 Maret 2020 kepada seluruh investor dari 6 reksa dana. OJK meminta MI (manajer investasi) untuk menjalankan komitmennya dalam penyelesaian proses likuidasi selanjutnya dan melaporkan kepada OJK," tutur Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot, pada 9 Juni 2020 lalu seperti dikutip dari CNBC Indonesia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Lestari Ningsih
Editor: Lestari Ningsih

Bagikan Artikel: