Memelihara Lagi Gedung-gedung Elok Peninggalan Kesultanan Ustmaniyah di Ibu Kota Lebanon
Keindahan yang rapuh
Gemmayzeh dan Mar Mikhael merupakan sebagian dari kawasan pertama yang dibangun setelah Beirut mulai berkembang melampaui tembok kota kunonya, jelas Antoine Atallah, arsitek dan perencana kota, yang juga wakil pimpinan sebuah LSM lokal Save Beirut Heritage.
"Mereka beruntung dapat selamat dari perang saudara dan hiruk pikuk real estate yang menghancurkan begitu banyak gedung bersejarah dan memecah belah begitu banyak kawasan bersejarah," katanya.
Tidak seperti gedung-gedung lain peninggalan masa Kekaisaran Utsmaniyah dan kekuasaan Prancis yang tersebar di seluruh Beirut, yang sering kali terisolasi di antara gedung-gedung apartemen modern bertingkat tinggi,
"bangunan-bangunan [di dua kawasan] itu merupakan struktur perkotaan lengkap, yang masih aman dan utuh serta koheren".
Kedua wilayah tersebut terdiri dari arsitektur Utsmaniyah dari paruh kedua abad ke 19, termasuk vila dua lantai yang luas dengan atap genteng berwarna merah dan ruangan besar di tengah bangunan yang menonjolkan tiga jendela melengkung.
Gedung-gedung yang dibangun antara 1920 sampai 1945, ketika Lebanon berada di bawah penjajahan Prancis, juga memiliki nilai sejarah yang sama.
Berderet dan membentuk bangunan yang memanjang, kebanyakan gedung-gedung itu bertingkat tiga atau empat, dengan menampilkan tambahan balkon dengan pagar besi tempa yang dekoratif.
Menurut Atallah, gedung-gedung dari masa Utsmaniyah biasanya rentan dari daya kejut ledakan.
"Ruangan tengah dan tiga jendela lengkung itu pada dasarnya membagi fasad menjadi dua dan Anda hanya akan mendapatkan kolom marmer sangat tipis dan halus, yang menyangga keseluruhan fasad," jelasnya.
"Anda punya jendela-jendela besar, Anda punya banyak void (ruang kosong yang berada di antara lantai atas dan lantai bawah) --semua ini terbuat dari batu pasir yang tipis.
"Sehingga, bukan hanya menciptakan arsitektur yang rupawan, tetapi juga arsitektur yang relatif rapuh, yang tidak dibangun untuk menahan kekuatan ledakan semacam itu," paparnya.
Banyak yang mengkhawatirkan kerusakan gedung-gedung itu dapat dijadikan alasan untuk meruntuhkan bangunan dan bukannya memperbaikinya.
"Ada desas desus bahwa para pemilik ditawari segepok uang agar mau menjualnya… Ada risiko bahwa siapapun yang akan membeli gedung-gedung itu hanya akan menghancurkannya dan membangun gedung-gedung pencakar langit demi mengambil keuntungan dari lahan itu, menghasilkan lebih banyak uang, lebih banyak keuntungan," kata Khoury.
Sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh kementerian keuangan pada 12 Agustus bertujuan untuk mencegah 'eksploitasi' setelah ledakan itu, dengan mencegah penjualan bangunan bersejarah tanpa izin kementerian kebudayaan.
Tetapi Atallah mengatakan bahwa masih ada ancaman lainnya yang harus ditangani sesegera mungkin, termasuk risiko pengabaian dari pemilik yang tidak memiliki duit untuk merehabilitasi bangunan mereka.
"Selama perang saudara, kami tidak pernah mengalami kejadian warga meninggalkan rumah-rumahnya, gedung-gedung miliknya, dan tidak kembali lagi. Kami tidak menginginkan hal itu terjadi," katanya.
Ancaman lainnya adalah banyaknya keluarga yang mengungsi sementara, beberapa orang hanya melakukan perbaikan seefisien dan secepat mungkin, menutup jendela bersejarah berbentuk lengkung itu untuk menyediakan tempat perlindungan dari hujan musim dingin yang akan datang.
Para relawan terus bekerja untuk meyakinkan para pemilik dan penyewa bahwa bantuan segera mengalir.
"Mereka tidak sendiri dalam perjuangan ini… Begitu sistem yang benar ada, akan ada jalan untuk membiayai renovasi gedung-gedung bersejarah yang rusak karena ledakan.
"Ini benar-benar sesuatu yang sangat serius dikerjakan oleh banyak organisasi internasional," kata Atallah,
"Seharusnya mereka tidak putus asa - meski mereka punya banyak alasan untuk putus asa. Bagi kami ini benar-benar penting… Kami ingin menyelamatkan bukan hanya gedung-gedung, tetapi juga tatanan sosial yang membuat gedung-gedung ini hidup."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: