Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Milenial Thailand Gerakkan Demonstrasi, Gunakan Medsos buat Propaganda

Milenial Thailand Gerakkan Demonstrasi, Gunakan Medsos buat Propaganda Warga menyalakan cahaya senter dari telepon genggam mereka saat protes anti-pemerintah di Bangkok, Thailand, Jumat (16/10/2020). | Kredit Foto: Antara/REUTERS/Soe Zeya Tun
Warta Ekonomi, Bangkok -

Demi membangkitkan semangat perlawanan dan menggalang simpati, para pengunjuk rasa antimonarki di Thailand menggunakan media sosial sebagai alat propaganda.

Para pengunjuk rasa yang didominasi anak muda Thailand itu terus menekan Perdana Menteri (PM) Pruyuth Chanocha untuk mengundurkan diri dengan tenggat waktu selama tiga hari. Mereka juga menuntut pengurangan kekuasaan kerajaan dan menyerukan solusi berdirinya Republik Thailand. 

Baca Juga: Pendemo Thailand Ultimatum Prayuth Chan-ocha, Mundur dalam 3 Hari atau...

Demonstrasi kini menjadi suatu gaya karena sebagian besar pesertanya adalah anak muda yang merupakan generasi milenial. Mereka membawa payung untuk melawan serangan gas air mata yang ditembakkan polisi. Mereka juga mengenakan helm dan masker gas hingga flashmob hingga bahasa tangan. Gaya tersebut diadopsi dari para demonstran Hong Kong.

Ketika para pemimpin demonstrasi telah ditangkap, para pengunjuk rasa justru menyerukan "Kita semua adalah pemimpin saat ini".

"Mereka (pemerintah) mengira bahwa dengan menangkap para demonstran akan menghentikan kita," ujar Pla (24) seorang demonstran di Bangkok. "Itu tidak akan berdampak. Kita adalah pemimpin saat ini," imbuhnya.

Apa yang dilakukan para demonstran Hong Kong juga menganggap semua pengunjuk rasa adalah pemimpin. Itu setelah para pemimpin mereka ditangkap. Pengambilan keputusan pun dilakukan melalui forum online dan menggunakan aplikasi percakapan melalui Telegram sehingga bisa melakukan mobilisasi massa.

Penggunaan Telegram telah mengalami peningkatan tajam dalam beberapa bulan terakhir. Para demonstran menggunakannya untuk mengordinasi aksi seiring dengan pengetatan aturan oleh pemerintah. 

Grup Telegram, yakni Free Youth, menjadi kelompok yang beranggotakan 200.000 orang. Akibatnya pemerintah Thailand memblokir Telegram. Selain itu, grup di Facebook juga sangat populer. Berbagai informasi mengenai pelaksanaan dan lokasi demonstrasi serta keberadaan polisi beredar cepat dan luas melalui grup tersebut.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: