Menerawang Pilpres AS dari Kacamata Orang Indonesia, Coblos Biden atau Trump?
Takut kena perlakuan rasialis
Dari ibu kota Negara Bagian Colorado, Denver, Rita menceritakan kepada saya pilihan politiknya.
"Saya tidak berafiliasi dengan Demokrat atau Republik. Saya terdaftar sebagai independen. Saya juga tidak suka dengan Biden cuma karena tidak ada pilihan, saya memilih yang the least evil (yang terbaik dari dua calon yang sama-sama buruk)," tuturnya melalui percakapan telepon pada Jumat (30/10/2020).
Garis partai Demokrat, lanjutnya, tak sepenuhnya dapat ia terima dalam sejumlah isu. "Saya milih independen karena kadang-kadang Demokrat terlalu progresif. Saya kurang begitu setuju kalau soal pernikahan gay. Kalau soal aborsi, itu tergantung situasi. Cuma untuk soal LGBT, saya merasa kayak kita dicekoki di sekolah anak-anak. Saya kurang begitu setuju.
Ditambahkan Rita, pandangan politik dan keputusannya untuk tidak menjadi anggota salah satu partai utama tersebut antara lain dilatari hasil pengamatan dan perbincangan dengan berbagai kalangan.
Ada kawan-kawannya yang bekerja untuk para senator di Colorado. Ia juga kerap bertukar pikiran dengan klien-kliennya di sela-sela acara-cara penting.
"Trump sudah menjelekkan nama Amerika di seluruh dunia dan dia membuat masalah rasisme meningkat di sini Saya sebagai orang Islam, ditambah muka saya agak ada china-china sedikit, saya takut kena sama orang-orang yang rasis begitu."
Isu rasialisme tersebut, berdasarkan pengamatan Didi Prambadi, mantan wartawan Tempo dan sekarang menjadi chief operations officer di Indonesianlantern.com, portal komunitas Indonesia di Amerika Serikat, jelas semakin memanas menjelang pemilihan presiden.
"Bahkan ada kelompok supremasi kulit putih bersenjata, Front Patriot, menggalang kekuatan militer di beberapa negara bagian bila Donald Trump kalah dalam Pilpres 2020 nanti."Sementara kelompok hitam dikhawatirkan akan melakukan penjarahan dan perampokan di beberapa negara bagian, seperti yang terjadi di Philadelphia, Oregon, New York, dan lainnya," jelasnya.
Masalah ekonomi
Amerika Serikat menggelar pesta demokrasi ketika pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda kapan akan berakhir. Ekonomi amat lesu dan defisit belanja negara semakin membengkak.
"Malah untuk tahun ini diperkirakan naik US$3,3 triliun (sekitar Rp48 kuadriliun). Jumlah itu antara lain untuk membiayai tunjangan penganggur yang jumlahnya 12,8 juta orang per September 2020," kata Didi Prambadi.
Adapun besaran tunjangan pengangguran bervariasi antarnegara bagian. Data Departemen Tenaga Kerja yang dirilis akhir tahun 2019 menunjukkan rata-rata mencapai US$378 per minggu atau Rp22 juta per bulan.
Di Augusta, kota di Negara Bagian Georgia yang dikenal sebagai tuan rumah turnamen tahunan golf Masters, tinggal seorang warga negara Indonesia yang telah menyaksikan lima kali pemilihan presiden Amerika Serikat, termasuk tahun ini.
Maya bukanlah pemegang hak suara karena tetap mempertahankan paspor hijau berlambang Garuda. Walaupun demikian ia mengaku tertarik mengikuti perkembangan politik.
"Kita ingin tahu bagaimana pemerintahan yang akan datang mengurus pandemi virus corona sehingga ekonomi kita membaik." Itulah harapan Maya dalam percakapan dengan saya, Rohmatin Bonasir, melalui sambungan telepon.
Sepanjang yang ia tahu, Partai Republik cenderung mendorong apa yang disebut ekonomi kerakyatan
"Kalau bisa pemerintah tidak terlalu membuat peraturan dan tidak terlalu ikut campur dalam kebijakan ekonomi karena mereka punya prinsip ekonomi itu bergerak dari bawah. Semakin rakyat makmur, semakin rajin rakyat membayar pajak dan otomatis pendapat negara akan besar," jelas Maya.
Menurutnya, Partai Demokrat menempuh pendekatan yang berbeda. "Mereka cenderung berprinsip pemerintah ikut mengatur rakyatnya. Makanya mereka banyak membuat peraturan, negara mengelola pajak dan mendistribusikannya kepada rakyat."
Isu pajak menjadi salah satu perdebatan sengit di masa kampanye. Presiden Trump menakut-nakuti pemilih dengan mengatakan saingannya, Joe Biden, sudah bertekad menaikkan pajak sejadi-jadinya.
Apa yang dikatakan Biden sejatinya adalah menaikkan pajak penghasilan di atas US$400.000 (Rp5,8 miliar) per tahun. Ia ingin pendapatan sebesar itu dipajaki 39,6%, naik dari tarif saat ini 37%.
Penyanyi rap 50 Cent baru-baru ini menyatakan dukungan terbuka kepada Trump, sesudah mengkritik kebijakan pajak Joe Biden.
Sebagian besar warga Amerika - dengan rata-rata penghasilan tahunan US$54.099, menurut Social Security Administration (lembaga pemerintah AS yang menangani jaminan sosial) - akan tetap dikenakan tarif yang berlaku sekarang 22%.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto