Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Rekonsiliasi Nasional Rangkul Kubu Habib Rizieq? Salah Kaprah!

Rekonsiliasi Nasional Rangkul Kubu Habib Rizieq? Salah Kaprah! Kredit Foto: Antara/Asprilla Dwi Adha
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menyatakan, rekonsiliasi nasional merupakan kebutuhan bangsa agar tidak terjebak ke dalam kubangan konflik yang berkepanjangan.

Tetapi yang terjadi, wacana rekonsiliasi mengalami bias makna dan salah kaprah. Hal itu dikatakan Karyono menganggapi wacana rekonsiliasi nasional yang disuarakan sejumlah pihak merespons kepulangan Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab (HRS) yang kembali ke Tanah Air.

"Rekonsiliasi itu harus memiliki urgensi, tujuan dan kerangka atau konsep rekonsiliasi," ujar Karyono saat dihubungi, Kamis (12/11/2020).

Baca Juga: Habib Rizieq Gak Juga Karantina Mandiri, Anak Buah Jokowi Langsung Protes

Karyono menuturkan, dari aspek urgensi, rekonsiliasi memang diperlukan mengingat sepanjang perjalanan bangsa ini masih terbebani konflik masa lalu. Namun demikian, tidak mudah untuk mewujudkan rekonsiliasi. Pasalnya, rekonsiliasi memerlukan komitmen kuat untuk menghapus dendam demi mengakhiri konflik.

Masalahnya, kata dia, konflik masa lalu justru dikelola untuk tujuan tertentu yang malah memperpanjang dan memeruncing konflik. Konflik lama justru kerap direproduksi, diduplikasi, dan dimodifikasi untuk tujuan tertentu.

"Ujungnya, yang terjadi bukan rekonsiliasi nasional yang bertujuan untuk mengakhiri konflik, tapi yang terjadi adalah kompromi politik sebatas kepentingan elite. Rekonsiliasi akhirnya terdistorsi menjadi sebatas kompromi elite. Upaya rekonsiliasi seperti ini niscaya tidak akan menyelesaikan akar persoalan," ujarnya.

Menurut Karyono, wacana rekonsiliasi salah kaprah juga pernah didengungkan saat Pilpres 2019 yang berujung rusuh. Kondisi itu, seketika membuat pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai pemenang berkenan merangkul Prabowo Subianto yang menjadi lawan politiknya selama dua kali Pilpres berturut-turut.

Menurutnya, upaya merangkul lawan politik itu menggunakan terminologi rekonsiliasi dengan dalih "the winner doesn't take it all", pemenang tidak mengambil semuanya. Ujungnya, Partai Gerindra masuk ke dalam koalisi pemerintahan dan mendapat jatah dua menteri. Rekonsiliasi akhirnya terdistorsi menjadi sekadar koalisi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: