Sejak beberapa tahun terakhir, diskriminasi terhadap minyak sawit dan produk turunannya dari Uni Eropa (UE) memang sudah masif terjadi. Terkait hal tersebut, pemerintah Indonesia telah mengadukan permasalahan ke WTO dan terus berjuang di kancah internasional agar citra kelapa sawit tetap positif.
Dalam Pertemuan Tingkat Menteri Asean dan Uni Eropa ke-23, Menteri Luar Negeri RI, Retno Lestari Priansari Marsudi menyematkan pesan khusus kepada UE agar memberlakukan minyak kelapa sawit secara adil.
"Ini ada permintaan yang wajar. Indonesia tidak mengorbankan kelestarian lingkungan hanya untuk mengejar pembangunan ekonomi," tegas Retno dalam pertemuan yang diselenggarakan secara virtual, dikutip Rabu (2/12/2020).
Baca Juga: Pemerintah Bidik Remajakan 2,8 Juta Hektare Kebun Plasma Sawit
Permintaan Retno ini menindaklanjuti aturan pelaksanaan (delegated act) atas Renewable Energy Directive (RED II) yang sempat diloloskan Komisi UE pada Maret 2019 lalu. Dalam dokumen tersebut, Komisi UE menyimpulkan kelapa sawit merupakan driver utama deforestasi dan berencana menghapus penggunaan minyak sawit secara bertahap hingga 0 persen pada 2030.
Padahal faktanya, minyak kelapa sawit memegang peran penting dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs). Di Asean, industri ini mendorong lapangan pekerjaan bagi 26 juta orang.
Di Indonesia, sekitar 41 persen perkebunan sawit dikelola oleh petani kecil, menekan angka kemiskinan sebesar 10 juta, dan berkontribusi pada devisa sebesar US$23 miliar (atau sekitar Rp326,2 triliun) pada 2019.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: