Selama ini, minyak goreng bekas atau minyak jelantah (used cooking oil/UCO) hanya terbuang dan tidak termanfaatkan, lalu menjadi limbah. Padahal, minyak jelantah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam program biodiesel Indonesia.
Tidak hanya bernilai ekonomis dan inovatif, langkah ini, juga dapat mengurangi limbah lingkungan, memberikan manfaat ekonomi, baik untuk kesehatan, mengurangi emisi gas rumah kaca, hingga mendukung pembangunan daerah.
Baca Juga: Persiapan Indonesia dari Raja Hulu Jadi Raja Hilir CPO
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, menegaskan bahwa minyak jelantah dapat digunakan untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan produksi biodiesel nasional. "Kalau bisa kita kelola dengan baik, minyak jelantah bisa memenuhi sebagian kebutuhan biodiesel nasional," ujarnya.
Dari paparan Feby diketahui bahwa pada 2019, penggunaan minyak goreng di Indonesia mencapai 13 juta ton per tahun atau setara 16,2 juta kiloliter per tahun. Dari penggunaan tersebut, potensi minyak jelantah mencapai 3 juta kiloliter per tahun.
Senada dengan hal ini, Manajer Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti, mengatakan, Indonesia memiliki potensi besar memanfaatkan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel. Ricky juga menjelaskan, angka sisa konsumsi minyak goreng Indonesia tersebut cukup besar lantaran Uni Eropa menghasilkan 22,7 juta ton, Amerika sekitar 16 juta ton, dan India 23 juta ton. Sayangnya, hanya sekitar 18,5 persen yang dapat dikumpulkan sebagai bahan baku minyak jelantah.
Pengembangan biodiesel berbasis minyak jelantah berpeluang untuk dipasarkan, baik di dalam negeri maupun untuk ekspor. Lebih lanjut Ricky memperkirakan, jika lima liter minyak jelantah dikonversikan menjadi satu liter biodiesel, terdapat potensi 3,24 juta kiloliter biodiesel yang dapat dihasilkan per tahunnya.
Keuntungannya, biaya produksi lebih hemat 35 persen dibandingkan biodiesel dari CPO. Apabila 1,2 juta kiloliter biodiesel dari kelapa sawit diganti dengan minyak jelantah yang dikumpulkan dari sektor rumah tangga, bisa menghemat sekitar Rp4,2 triliun.
"Tetapi, ini harus dilihat lagi. Karena, kita lihat dari beberapa industri yang ada tidak sustain (berkelanjutan). Ada hal-hal yang memengaruhi biaya operasionalnya," kata Feby.
Kendati demikian, VP Strategic Planning Refining and Petrochemical PT Kilang Pertamina Internasional, Prayitno, mengungkapkan bahwa masih ada hal yang harus dipikirkan dalam pemanfaatan minyak jelantah. Salah satunya, mengenai pengumpulan minyak jelantah skala industri.
"Termasuk logistik dan handling. Tapi, kita bisa benchmark dari perusahaan di luar negeri, bagaimana mereka mengumpulkan minyak jelantah," jelasnya.
Sementara untuk CPO, masih diperlukan jaminan feedstock dan kebijakan untuk memastikan kelangsungan bisnis bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan terkait.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum