Redam Pengunjuk Rasa, Polisi Myanmar Mulai Berani Gunakan Peluru Karet
Apa yang terjadi saat protes?
Di hari keempat demonstrasi massal, demonstran berhadapan dengan polisi yang menembakkan meriam air di kota Bago.
Meriam air juga berulang kali ditembakkan ke kerumunan pengunjuk rasa di Nay Pyi Taw, yang menolak mundur, menurut kantor berita Reuters.
"Akhiri kediktatoran militer", teriak para demonstran.
BBC Myanmar melaporkan pengunjuk rasa di Nay Pyi Taw bahkan didukung seorang petugas polisi. Para pengunjuk rasa telah meminta petugas polisi untuk bergabung dengan tujuan mereka.
Seorang analis politik, Kin Zaw Win, sebelumnya mengatakan kepada media, Al Jazeera bahwa polisi lebih dekat ke Aung San Suu Kyi dibandingkan dengan militer dan akan lebih "mungkin berdiri dengan pengunjuk rasa" daripada tentara.
Di kota-kota lain di Myanmar, pengunjuk rasa terus berkumpul, dengan sejumlah foto menunjukkan kerumunan besar di beberapa tempat.
Di hari Senin, demonstrasi juga diikuti para guru, pengacara, pejabat bank dan pegawai pemerintah yang berkumpul di kota-kota di seluruh negeri. Beberapa demonstran dilaporkan cedera, tetapi tidak ada laporan soal kekerasan.
Wartawan BBC Nyein Chan Aye, di Yangon, mengatakan para biksu Buddha, anggota komunitas Muslim minoritas, pesepakbola top, dan bintang film dan musisi juga telah bergabung dalam protes anti-kudeta, yang menurutnya akan menjadi lebih terorganisir seiring berjalannya waktu.
Apa tanggapan militer?
Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan bahwa pemilihan umum pada November berlangsung tidak adil. Pemilu itu dimenangkan telak oleh partai pimpinan Aung San Suu Kyi - kini dalam tahanan militer.
Aksi militer tersebut memicu unjuk rasa besar-besaran yang memasuki hari ketiga pada Senin (8/2/2021), disertai mogok kerja di seluruh negeri.
Menanggapi protes massal, militer mulai memberlakukan pembatasan di sejumlah wilayah, termasuk larangan keluar rumah dan pembatasan kerumunan.
Suu Kyi dan pemimpin senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy, NLD), termasuk Presiden Win Myint, telah ditempatkan dalam tahanan rumah.
Departemen Luar Negeri AS berkata pada Senin (8/2/2021) bahwa mereka berusaha menemui Suu Kyi namun permintaannya ditolak. AS mengatakan mereka berpihak pada rakyat Myanmar dalam menjalankan hak mereka untuk berkumpul dan berunjuk rasa dengan damai.
Seorang penasihat ekonomi Suu Kyi, Sean Turnell, yang merupakan warga Australia, juga ditahan dan pada Senin kemarin keluarganya mengunggah pernyataan di Facebook yang meminta agar ia segera dilepaskan.
Pidato Jenderal Min Aung Hlaing lebih fokus pada alasan kudeta daripada ancaman terhadap para pengunjuk rasa.
Dia berkata komisi pemilihan telah gagal menyelidiki penyimpangan terkait daftar pemilih pada pemilu bulan November dan tidak mengizinkan kampanye yang adil.
Komisi telah mengatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung klaim tentang kecurangan masif.
Jenderal Min Aung Hlaing yang mengenakan seragam militer, berjanji akan mengadakan pemilihan baru dan menyerahkan kekuasaan kepada pemenangnya. Komisi pemilihan yang baru "direformasi" akan mengawasinya.
Dia juga menyatakan pemerintahannya akan "berbeda" dari rezim militer selama 49 tahun yang berakhir pada 2011, dan yang mengawal represi brutal terhadap pengunjuk rasa 1988 dan 2007.
Dia berbicara tentang mencapai "demokrasi yang benar dan disiplin", frase yang menuai cemoohan dari beberapa penentang kudeta di media sosial.
Dia juga mengatakan kepada warga untuk "bertindak berdasarkan fakta yang benar dan tidak mengikuti perasaan Anda sendiri".
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: