Pemerintah diminta tidak berpuas dulu dengan kinerja neraca perdagangan yang sejak awal hingga Februari 2021 terus menunjukkan surplus. Hal ini karena data kinerja neraca perdagangan juga menunjukkan belum optimalnya industri pengolahan nasional memanfaatkan kapasitas produksi sebagaimana terlihat dari penurunan nilai impor non migas, khususnya untuk sektor mesin dan peralatan mekanis.
Ekonom Universitas Nasional (Unas) Jakarta, I Made Adnyana, memuji surplus 2 miliar dollar AS pada neraca perdangan Februari 2021, yang melanjutkan tren positif sejak Mei 2020. Namun ia menyoroti data impor non migas yang sudah membaik di posisi 11,78 miliar dollar AS namun masih belum pulih dari posisi Desember sebesar 12,96 miliar dollar AS.
Baca Juga: Mendag: Sektor Nonmigas Dorong Surplus Perdagangan Februari
“Dibanding Januari 2021, volume impor mesin dan peralatan mekanis masih mengalami penurunan (-2,62%) demikian juga nilainya (-4,21%). Ini menunjukkan sektor industri manufaktur masih belum optimal menyerap bahan baku untuk ekspor,” kata Adnyana dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Sosial Politik (PKSP) Universitas Nasional, Jakarta, Senin (22/3) kemarin.
Diakui Adnyana, industri pengolahan masih memberikan kontribusi ekspor terbesar yaitu 12,15 miliar dollar AS (79,57% dari total ekspor) dan menunjukkan kenaikan 1,38% dibanding Januari 2021. Namun kalau dirinci lebih dalam sesuai sub sektor terlihat adanya kecenderungan penurunan kontribusi dari sektor industri pengolahan, seperti lemak dan minyak/hewan nabati (-30,30%), mesin dan peralatan mekanis (-4,35%), alas kaki (-1,63%), dan logal mulia, permata/perhiasan (-1,54%).
Ia juga menyoroti menurunnya ekspor berbagai produk kimia yang angkanya cukup tinggi yaitu minus 24,94% dari sisi volume dan minus 25,48% dari sisi nilai. Demikian pula besi dan baja yang turun cukup tinggi, yaitu 11,43% (volume) dan 14,95% (nilai).
Adnyana mengingatkan agar hati-hati dalam membaca data statistik karena nilai surplus tidak selalu memberikan kabar gembira, sebagaimana data BPS Februari 2021, yang secara tidak langsung menunjukkan data belum pulihnya kontribusi sektor industri manufaktur.
Dosen Universitas Nasional Jakarta itu menyarankan pemerintah khususnya Kementerian Perindustrian untuk melakukan kajian komprehensif terhadap masih belum optimalnya industri manufaktur baik dari sisi produksi maupun dari kemampuan daya saing di pasar global. Terlebih pemerintah sudah memberikan segalanya, mulai dari kemudahan berinvestasi, insentif pajak, dan kemudahan-kemudahan lain sebagaimana tertuang dalam UU Cipta Kerja.
“Pandemi memang tidak bisa dihindari tapi dunia terus bergerak, kita harus segera bangkit untuk kembali menguasai pasar dunia,” tegasnya.
Sementara Ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Drs. Darwis, M.A., Ph.D., menyoroti ketimpangan pasar penyerap produk ekspor komoditas Indonesia yang menumpuk pada 3 (tiga) negara besar, yaitu RRT (20,50%), Amerika Serikat (12,92%), dan Jepang (8,35%).
Padahal, lanjut Darwis, banyak negara dengan penduduk besar seperti India, negara-negara di Timur Tengah, atau negara –negara di Afrika yang sesungguhnya sangat potensial untuk pemasaran komoditi dan produk ekspor Indonesia.
“Mie Instan, otomotif dan suku cadang, kelapa sawit, karet dan barang dari karet, juga busana muslim sangat potensial untuk pasar negara-negara muslim di Asia, Timur Tengah, dan Afrika,” kata Darwis merinci.
Ia berharap jajaran Kementerian Perdagangan bersama dengan Kementerian Luar Negeri harus bekerja keras membuka akses pasar bagi produk-produk Indonesia ke negara-negara tersebut meskipun harus menghadapi tantangan produk sejenis dari RRT, India, dan Vietnam.
“Mereka bisa jual produk bagus dengan harga murah, mestinya kita juga lebih bisa" ujar Darwis seraya menambahkan, industri di tanah air sudah dimanjakan dengan kemudahan berinvestasi, insentif pajak, hingga perlindungan dari UU Cipta Kerja.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil