Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menakar Kelayakan Diskon PPnBM di Tengah Melemahnya Daya Beli

Menakar Kelayakan Diskon PPnBM di Tengah Melemahnya Daya Beli Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar

Kebijakan yang diusulkan Kemenperin ini sempat ditolak oleh Kemenkeu hingga akhirnya disetujui oleh Kemenko Perekonomian. Kemudian Presiden Jokowi meminta Menkeu untuk memperluas cakupan jenis mobil penerima diskon PPnBM. Permintaan Jokowi itu akhirnya direstui Sri Mulyani yang diumumkan pada Selasa (23/3/2021).

Sri Mulyani menyebut pihaknya sedang memfinalisasi peraturan menteri keuangan (PMK) sebagai payung hukum perluasan cakupan insentif PPnBM. Nantinya, diskon PPnBM ini tidak hanya berlaku pada mobil dengan kapasitas 1.500 cc, melainkan juga pada mobil berkapasitas hingga 2.500 cc.

"Mengenai (insentif untuk mobil berkapasitas silinder) 2.500 cc, kami sedang di dalam proses untuk memfinalisasi peraturan menteri keuangannya, yang nanti bisa berlaku mulai bulan April, terutama untuk 1.500 hingga 2.500 cc," katanya dalam konferensi pers APBN KITA, Selasa (23/3/2021).

Baca Juga: Ada Diskon PPnBm, Penjualan Mobil Ditargetkan 81 Ribu Unit

Menakar Kelayakan Diskon PPnBM

Ekonom Sasmito mengatakan bahwa sebetulnya tanpa diskon PPnBM pun, penjualan mobil akan naik di semester II tahun ini. Namun, para pabrikan mobil enggan menunggu waktu lama-lama agar penjualan mobil bisa lebih cepat naik.

"Pemerintah kurang happy dengan prediksi IMF bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh 4,9 persen selama 2021. Maka, simbiosis mutualisme terjadi dan mencetuskan munculnya insentif tersebut," beber dosen Universitas Trisakti ini kepada Warta Ekonomi, Senin (22/3/2021).

Walaupun secara y-o-y masih mengalami pertumbuhan negatif, secara q-t-q industri otomotif sebenarnya sudah mulai bangkit sejak kuartal III 2020. Mengutip data LPEM FEB UI, industri alat angkutan mencatatkan kontraksi 2,41 persen pada kuartal I dan 37,54 persen pada kuartal II 2020 (q-t-q), tapi tumbuh 17,48 persen dan 13,14 persen pada kuartal III dan IV (q-t-q).

Begitu pula dengan perdagangan mobil, sepeda motor, dan reparasinya yang menyusut 3,01 persen dan 30,60 persen pada kuartal I dan II 2020 (q-t-q), tapi mencetak pertumbuhan positif 21,71 persen dan 10,09 persen pada kuartal III dan IV 2020 (q-t-q).

"Jika memang permintaan mobil sudah mulai bangkit sejak sebelum ada insentif maka pembebasan PPnBM dipandang sebagai kehilangan potensial penerimaan negara," jelas Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Mohamad D Revindo.

Simulasi Kemenperin dan Kemenkeu menunjukkan bahwa dengan insentif ini, besarnya PPnBM yang tidak dipungut pemerintah diperkirakan mencapai Rp2,3 triliun pada 2021. Meski begitu, lanjutnya, kekhawatiran akan potensi kehilangan pendapatan negara dari PPnBM tidak relevan karena tanpa diskon PPnBM, penjualan mobil sangat sedikit terjadi.

"Artinya dengan ada atau tidaknya insentif, pemerintah tetap tidak akan mendapatkan PPnBM," kata dia sebagaimana dikutip dari keterangan tertulisnya kepada Warta Ekonomi.

Hal serupa tapi tak sama diamini Sasmito. Dia menyebut meski akan kehilangan pendapatan dari PPnBM, negara bisa saja menuai sumber-sumber pajak lain, seperti pajak bensin, jalan tol, bengkel, toko mobil, dan lain-lain. Dengan catatan, jika penjualan mobil bisa naik signifikan.

"Jika penjualan mobil naik signifikan, bisa saja pajak (PPnBM) diberlakukan lagi. Pemerintah punya ruang untuk melakukan hal tersebut. Beberapa kali pernah terhadap bahan pokok: minyak goreng atau kelapa sawit, cabai, bawang, tempe, dan sebagainya," terang dia.

Revindo menambahkan, industri otomotif memiliki multiplier effect yang relatif besar karena keterkaitan yang besar dengan industri hulu. Peningkatan produksi dan penjualan mobil bisa mendorong permintaan terhadap industri komponen, suku cadang, logam, dan jasa keuangan.

Yang lebih mendesak ialah penjualan mobil diperlukan untuk mengurangi akumulasi stok mobil yang belum terjual di diler. Misalnya, pada September 2020, Gaikindo menyatakan masih terdapat 5.192 unit mobil yang menumpuk, yang merupakan selisih antara jumlah penjualan wholesale 48.554 unit dengan jumlah penjualan ritel 43.362 unit.

Insentif ini pun diharapkan mendorong kelompok pendapatan menengah-atas untuk menyuntikkan dana ke perekonomian dengan cara membelanjakan tabungannya yang cenderung meningkat selama pandemi.

"Kelompok menengah atas memang cenderung menahan laju konsumsinya selama pandemi," beber Revindo.

Revindo tak menampik di tengah pandemi sekarang ini masyarakat cenderung menahan belanja konsumsinya, kecuali untuk kebutuhan primer. Sementara belanja kendaraan bermotor merupakan kebutuhan sekunder.

"Kondisi pandemi dengan mobilitas yang berkurang dapat mengurungkan niat konsumen membeli mobil sekalipun harganya turun," ujarnya.

Baca Juga: 3 Pertimbangan Saat Beli Mobil Keluarga, Plus Rekomendasi, Intip Yuk!

Data Google Mobility Indonesia menunjukkan bahwa secara nasional, antara akhir Januari hingga awal Maret 2021, kunjungan ke lokasi ritel dan rekreasi masih menurun 20 persen, sedangkan kunjungan ke tempat kerja berkurang 15 persen disbanding waktu baseline (lima minggu pertama tahun 2020 sebelum pandemi).

Namun, menurut Sasmito, diskon PPnBM ini punya tujuan yang jelas, yaitu untuk mendorong penjualan mobil jelang puncak mudik Lebaran 2021, disertai tren kasus covid-19 yang tengah turun. Dia pun menekankan, penanganan Covid-19 menjadi kunci suksesnya diskon ini mengerek perekonomian Indonesia.

"Insentif ini bisa jadi hanya stimulan atau trigger untuk mendorong aktivitas ekonomi. Meski demikian, sukses tidaknya insentif PPnBM sangat bergantung pada keberhasilan mengendalikan Covid-19," tandasnya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: