Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ramai-Ramai Mencicip Lezatnya Bisnis Bank Digital

Ramai-Ramai Mencicip Lezatnya Bisnis Bank Digital service point Jenius di Kota Kasabanka | Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bank digital belakangan semakin menjamur, terlebih setelah decacorn Go-Jek mengakuisisi saham Bank Jago (sebelumnya Bank Artos). Padahal, bank digital sendiri sudah ada di Indonesia sejak lima tahun silam saat PT Bank BTPN Tbk meluncurkan aplikasi perbankan bernama Jenius, tepatnya Agustus 2016 lalu.

Aplikasi yang pengembangannya menelan biaya investasi kurang lebih Rp500 miliar tersebut mengalami perkembangan yang terbilang pesat. Pada Oktober 2020 tercatat total pengguna Jenius sudah mencapai 3,1 juta, naik 27 persen secara yoy. Jenius pun membukukan dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp13,3 triliun hingga kuartal IV-2020. Angka ini melesat sebesar 100 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Baca Juga: Resmi! Bank Milik Hary Tanoe Ajukan Diri Jadi Bank Digital

Tergiur pertumbuhan bank digital yang moncer, para pesaing pun bermunculan. Setahun setelah Jenius meluncur, DBS Indonesia meluncurkan Digibank dan Bank Commonwealth meluncurkan TymeDigital.

Lalu, Bukopin ikut berpartisipasi melalui Wokee. Ada pula PermataME (PermataBank), D-Bank (Bank Danamon), Nyala (OCBC NISP), dan TMRW (UOB Indonesia).

Di Indonesia, bank digital hadir melalui dua pola. Pertama, lembaga perbankan konvensional menempuh jalur transformasi model bisnis. Kedua, bank melakukan aksi korporasi lewat akusisi. PT Bank Artos Indonesia Tbk (ARTO) atau dengan nama beken Bank Jago merupakan salah satu bank yang menempuh pola kedua. Bank ini terbentuk setelah mantan Direktur Utama BTPN Jerry Ng dan pendiri Northstar Group Patrick Walujo mengakuisisi 51% saham ARTO.

Lewat skema right issue, bank meraup dana investasi sejumlah Rp1,34 triliun yang digunakan untuk pengembangan infrastruktur, teknologi informasi, sumber daya manusia, dan penguatan permodalan. Suntikan ini membuatnya naik kelas menjadi Bank BUKU II.

Nama Bank Jago makin naik daun seiring masuknya Go-Jek. Melalui layanan keuangan digital GoPay, decacorn tersebut membeli 22% saham Bank Jago. Ke depannya, Bank Jago bakal masuk ke dalam ekosistem digital Grup Go-Jek.

Langkah serupa dilakukan pula oleh BCA yang mengakuisisi seluruh saham Bank Royal senilai Rp988,04 miliar akhir tahun lalu. Kabarnya, Bank Digital BCA bakal mulai beroperasi awal tahun ini. Sementara Sea Group, induk perusahaan Shopee dan Garena, telah menjadi pengendali saham Bank Kesejahteraan Ekonomi dan mengubahnya menjadi Bank Seabank Indonesia.

Aksi akuisisi selanjutnya dilakukan startup Akulaku. Grup fintech asal China tersebut sah menjadi pemegang saham terbesar PT Bank Yudha Bhakti Tbk (BBYB) sebesar 24,98 persen pada pertengahan 2019. Di bawah kendali Akulaku, BBYB berganti nama menjadi Bank Neo Commerce.

PT Mega Corpora yang menaungi lini bisnis keuangan CT Corp ikut meramaikan aksi akusisi. Perusahaan milik pengusaha kondang Chairul Tanjung tersebut mencaplok 73,71 persen saham PT Bank Harda Internasional Tbk (BBHI). Di bawah naungan PT Mega Corpora, BBHI bakal bertransformasi menjadi bank digital.

Membaca Kesuksesan Bank Digital Asia

Bank digital di Indonesia memang terlambat dari negara-negara lain di Asia. Indonesia sendiri belum memiliki regulasi khusus terkait bank digital. Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah merampungkan Peraturan OJK, yang salah satunya akan mengatur ketentuan mengenai pendirian bank digital. Peraturan tersebut ditargetkan rampung di semester I-2021.

Lisensi atau perizinan bank digital di Asia dicetuskan oleh China yang memberikan lisensi pada lima perusahaan. Di tahun-tahun selanjutnya, negara lain mengikuti, seperti Korea Selatan (dua lisensi pada 2017, satu pada 2019), Taiwan (tiga lisensi pada 2019), dan Hong Kong (delapan lisensi pada 2019).

Otoritas Moneter Singapura pun memberikan izin pada empat konsorsium Desember tahun lalu. Di tahun yang sama Bank Negara Malaysia menyelesaikan kerangka perizinannya dan BSP di Filipina memperkenalkan Kerangka Kerja Perbankan Digital-nya. Bank of Thailand sendiri akan meluncurkan program perizinan dalam waktu dekat.

Mengutip laporan McKinsey tahun 2021, bank yang beroperasi di bawah peraturan yang lebih ketat disebut mengalami pertumbuhan yang relatif terbatas. Reserve Bank of India memberikan lisensi "bank pembayaran" sementara kepada 11 entitas tahun 2015. Bank diizinkan menerima setoran terbatas dan menerbitkan kartu debit—tetapi tidak untuk pinjaman atau kartu kredit.

Pada 2019, Australia memberikan "lisensi terbatas" pada bank digital. Total setoran dibatasi sebesar AU$2 juta dan setoran individu sebesar AU$250.000. Bank-bank ini awalnya tumbuh lambat dan baru mencapai momentum setelah memperoleh izin penuh. Xinja Bank misalnya menjadi lembaga penerima setoran berlisensi penuh pada 2019.

Persaingan perbankan digital di Asia bisa dibilang sangat kompetitif, bahkan banyak perusahaan rintisan yang gagal, atau telah melakukan berbagai upaya tetapi tidak menghasilkan keuntungan. Namun, secara agregat, perbankan digital Asia disebut McKinsey sukses. Bank Jibun Jepang, pemain digital Asia pertama (diluncurkan pada 2008), mencapai profitabilitas kurang dari lima tahun setelah diluncurkan.

WeBank dan XW Bank China serta KakaoBank Korea Selatan menghasilkan keuntungan positif dua tahun setelah peluncuran. Kedua bank digital China itu mampu meraup keuntungan pada 2019. WeBank dan XW masing-masing membukukan ROE sekitar 28 persen dan 30 persen, dibandingkan dengan rata-rata nasional untuk semua bank sekitar 11 persen.

McKinsey menyebutkan bahwa bank digital yang sukses di Asia sering beroperasi di bawah model bisnis konsorsium yang kontras dengan pendekatan vertikal yang ada di Eropa dan Amerika Serikat. Di China, misalnya, WeBank dan MYBank adalah konsorsium, masing-masing dipimpin oleh Tencent dan Ant Financial Alibaba.

Kans Indonesia Pimpin Bank Digital Asean

Digitalisasi menjadi tren yang tak terelakkan, yang mendapat momentum akselerasinya akibat pandemi Covid-19. Riset firma konsultan keuangan EY (Ernst & Young) Global berjudul How Covid-19 Has Sped-up Digitization for The Banking Sector, menjelaskan bahwa 16% konsumen Eropa berharap bank akan berubah dalam jangka panjang akibat Covid-19.

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengamini hal tersebut. Malah, menurutnya, bank digital di Indonesia sedang bergerak ke arah yang positif. Meski agak telambat dari negara-negara lain, pagebluk telah mengakselerasi bank digital Tanah Air.

"Bagi perbankan, ini merupakan jawaban dan upaya menjawab tantangan perkembangan teknologi, pandemi, dan permintaan masyarakat," beber dia kepada Warta Ekonomi baru-baru ini sembari menjelaskan indikatornya ialah pelaku bank digital kian banyak dan tumbuh.

Baca Juga: Kesenjangan Digital di Masa Pandemi, Pakar Perubahan akan Menentukan Masa Depan

Pandangan serupa diungkapkan oleh Kepala Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda. Pandemi membikin hampir semua produk keuangan digital terakselerasi. Bank digital turut merasakan dampaknya. Ia menilai kinerja bank digital eksisting makin gemilang lantaran adanya pandemi Covid-19, yang membatasi aktivitas masyarakat.

"Transaksi keuangan menggunakan e-payment meningkat, ini dirasakan juga oleh bank digital," tuturnya saat dihubungi Warta Ekonomi, belum lama ini.

Berkah kenaikan transaksi ini dirasakan oleh Jenius Pay yang mengalami kenaikan transaksi sebanyak enam kali lipat selama periode Maret-Oktober 2020. Selanjutnya, jumlah nominal transaksi Jenius Pay meningkat 401 persen dan volume transaksi naik 212 persen pada Oktober 2020 dibandingkan Maret 2020.

Meningkatnya transaksi digital selama pandemi juga dialami oleh Digibank by DBS, yang melesat sebesar 75 persen pada fitur Bayar & Beli dan penggunaan kartu debit.

Ekonom Indef ini menyebut bank digital Indonesia punya peluang yang amat besar untuk memimpin di wilayah Asean. Terlebih, Indonesia merupakan pangsa pasar digital tertinggi di Asia Tenggara. Riset Google-Temasek tahun 2018, angka yang diraih Indonesia mencapai US$27 miliar, dan akan menyumbangkan US$100 miliar di tahun 2025 mendatang.

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2019-2020 menunjukkan jumlah pengguna internet mencapai 196,7 juta atau 73,7 persen dari total populasi Indonesia. Angka ini naik 8,9 persen dibandingkan jumlah pengguna sebelumnya.

"Pertumbuhan penetrasi internet di Indonesia juga pesat, lalu kelas masyarakat menengah bertumbuh pesat juga. Ini faktor yang bisa menjadikan Indonesia sebagai leader (di Asean)," imbuhnya.

Di sisi lain, masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan di Indonesia masih amat tinggi. Mengutip kajian Google, Bain & Temasek yang dirilis tahun 2019, ada 92 juta orang Indonesia yang masuk kategori unbanked. Artinya, peluang yang ada masih amatlah besar.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: