Kisah Perusahaan Raksasa: Roche, Farmasi yang Catatkan Untung Fantastis hingga USD63 Miliar Setahun
F. Hoffmann-La Roche AG atau biasa dikenal sebagai Roche AG adalah perusahaan multinasional asal Swiss yang bergerak dalam bidang kesehatan, khususnya farmasi. Roche merupakan salah satu perusahaan raksasa yang terdaftar dalam Global 500, milik Fortune.
Bisnis Roche cukup kuat dalam bidang farmasi untuk pengobatan kanker, penyakit metabolik dan virus. Karena hal ini, perusahaan dipandang sebagai salah satu raksasa di dunia yang banyak menghabiskan uangnya dalam riset dan pengembangan (research & development).
Baca Juga: Kisah Perusahaan Raksasa: Pendapatan Meroket 80%, Lloyds Banking Duduk Nyaman di Deretan Konglomerat
Kunci finansial perusahaan tersebut pada 2020 cukup sehat. Pendapatan Roche meningkat 4,3 persen menjadi 63,43 miliar dolar AS dari yang sebelumnya 60,84 miliar dolar.
Perusahaan juga mencatatkan peningkatan laba 25,1 persen tahun itu. Dari yang sebelumnya di tahun 2019 hanya mendapat 10,73 miliar dolar setahun, kini di 2020, Roche sukses membungkus laba senilai 13,42 miliar dolar.
Aset yang dimiliki perusahaan pun cukup baik. Di 2019, aset yang dimiliki hanya 79,68 miliar dolar, sedangkan di tahun berikutnya itu Roche memiliki aset senilai 80,44 miliar dolar. Dengan begitu, posisi Roche di Global 500 menempati peringkat ke-171 dunia.
Warta Ekonomi pada Jumat (23/4/2021) akan mengulas secara ringkas kisah Roche dalam artikel berikut ini. Untuk lebih lengkapnya, simak tulisannya di bawah ini.
Didirikan di Basel, Swiss pada 1896 oleh Fritz Hoffmann-La Roche, perusahaan Roche sejak awal dikenal karena memproduksi berbagai olahan vitamin dan turunannya. Pada 1934, menjadi perusahaan pertama yang memproduksi vitamin C sintetis secara massal, dengan nama merek Redoxon.
Roche memperkenalkan kelas obat penenang yang dikenal sebagai benzodiazepin (dengan Valium dan Rohypnol sebagai anggota yang paling terkenal) di tahun 1957. Pabrik juga memproduksi dan menjual beberapa obat kanker dan merupakan pemimpin di bidang ini.
Pada 1956, antidepresan pertama, iproniazid, secara tidak sengaja dibuat selama percobaan saat mensintesis isoniazid. Awalnya, itu dimaksudkan untuk menciptakan obat yang lebih efisien dalam memerangi Tuberkulosis.
Lebih dari itu, Iproniazid, ternyata memiliki manfaat tersendiri. Beberapa orang merasa itu membuat mereka merasa lebih bahagia. Barang tersebut kemudian ditarik dari pasar pada awal 1960-an karena efek samping yang beracun.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: