Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ribut-ribut Tes Pegawai KPK 2021, Disamber ICW: 75 Orang Radikal tapi dalam Hal...

Ribut-ribut Tes Pegawai KPK 2021, Disamber ICW: 75 Orang Radikal tapi dalam Hal... Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo tak ingin menyebut proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ujian. Sebab, menurutnya memang tidak dimaksudkan untuk itu.

"Saya sih menyebutnya tes abal-abal sajalah, karena nanti kalau sebut TWK itu nanti akan mengurangi spirit dari TWK yang sebenarnya," ungkap Adnan dalam polemik MNC Trijaya dengan topik 'Dramaturgi KPK' yang disiarkan secara virtual, Sabtu (8/5/2021).

Baca Juga: Novel Baswedan Tak Lolos jadi ASN KPK, ICW: Jokowi dan DPR Berperan Menghabisi KPK

Lebih lanjut, ia menjelaskan situasi di KPK saat ini tidak bisa dilepaskan dari situasi-situasi sebelumnya, termasuk ketika DPR sepakat untuk merevisi UU KPK.

"Sehingga tes yang kemarin dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurut kita tidak masuk akal, melecehkan dan sebagiannya justru tidak relevan dengan tujuan dari TWK sebenarnya ujung dari semua proses ini," kata Adnan.

Bahkan, kata Adnan, TWK ini bagian dari acara menyingkirkan 75 orang yang selama ini dianggap radikal.

"Kalau saya lihat mereka yang 75 orang ini radikal dalam pemberantasan korupsi, sehingga sangat tidak disukai oleh siapapun yang memang melakukan korupsi," ungkapnya.

Dengan demikian, kondisi ini mencerminkan bahwa sebenarnya arah politik pemberantasan korupsi juga sedang tidak baik-baik saja.

"Karena justru orang yang selama ini, punya kepedulian, bahkan berkorban sebagian dari mereka termasuk Novel Baswedan, harus kehilangan matanya untuk menjaga anggaran negara kita dan pajak kita dari praktek-praktek korupsi justru mau disingkirkan," paparnya.

Bahkan, pihaknya mempertanyakan kalau sudah seperti ini, sebetulnya bangsa Indonesia ini hendak dibawa ke mana. Seharusnya, kata dia, dalam pemberantasan korupsi itu bisa dilihat dari capaian sebelumnya.

"Indeks persepsi korupsi kita pada 2020 anjlok. Nah kalau ini terus terjadi, dan terus bergulir, saya kira memang pada intinya KPK itu tidak dikehendaki," tegasnya.

Dalam hal ini, kata Adnan, KPK itu tidak diharapkan dalam konteks politik pemberantasan korupsi saat ini. Sehingga kesannya KPK harus dihilangkan.

"Ya satu per satu pilarnya (dihilangkan), pertama adalah status independensi sebagai badan anti korupsi, itu sudah dicopot dalam revisi UU KPK, yang kedua adalah indpendensi pegawainya, nah ini juga kemudian yang ditarik menjadi ASN," jelasnya.

Bahkan, yang hendak menjadi ASN juga di KPK dihalang-halangi, diproses dengan sedemikian rupa, padahal UU sendiri tidak memandatkan itu.

"Sebenarnya kalau ngomong soal alih status pegawai, ini bukan bicara soal merekrut calon PNS untuk diangkat menjadi PNS, itu dua hal yang berbeda, ini yang saya lihat sepertinya ada akal-akalan upaya untuk mencari mereka-mereka yang dianggap tidak bisa kooperatif dengan pimpinan KPK, terutama Ketua KPK hari ini," tandasnya.

Menurut Adnan, hingga saat ini sikap KPK tidak tegas sehingga dirinya memandang tidak lurus, padahal dalam UU KPK itu leadership atau pengambilan keputusannya kolektif kolegial.

"Misal saja keputusan ini yang maunya pak Firli, kemudian yang lainnya menolak sebenarnya selesai kok, terus akan diproses dengan mekanisme yang ada yaitu langsung dialihkan sebagai PNS," jelasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: