Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Berbondong-bondong Perusahaan Teknologi Masuk Bisnis Perbankan

Berbondong-bondong Perusahaan Teknologi Masuk Bisnis Perbankan Deretan gedung bertingkat di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (18/2/2021). Gubernur DKI Jakarta menetapkan Peraturan Gubernur Nomor 118 Tahun 2020 tentang Izin Pemanfaatan Ruang untuk mempercepat perizinan pembangunan gedung dan mendorong geliat sektor properti, sebagai salah satu sektor yang memiliki multiplier effects terhadap pemulihan perekonomian akibat pandemi COVID-19. | Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejumlah perusahaan teknologi di Indonesia beberapa bulan belakangan berbondong-bondong merambah bisnis perbankan. Strateginya adalah dengan melakukan aksi caplok-mencaplok bank BUKU 2 (bank umum dengan modal inti Rp1 triliun hingga Rp5 triliun) dan menjadikannya sebagai bank digital.

Sebut saja induk Shopee, Sea Group, yang tahun lalu mengakuisisi Bank Kesejahteraan Ekonomi. BKE kemudian berubah nama menjadi Sea Bank. Kabarnya, induk Garena ini juga tengah mengincar PT Bank Capital Tbk, PT Bank Bumi Arta Tbk, dan PT Bank Aladin Syariah Tbk. Sayangnya, perusahaan membantah kabar tersebut.

"Baik Shopee maupun Sea tidak sedang mengadakan atau melakukan diskusi apa pun terkait kerja sama strategis dengan Bank Aladin," tulis manajemen Sea dalam keterangan resminya.

Baca Juga: Geber Jadi Bank Digital, MNC Bank Langsung Lakukan Hal Ini!

Hal yang sama dilakukan dedacorn-nya Indonesia, Gojek, dengan menggelontorkan US$160 juta pada akhir tahun lalu untuk menaikkan kepemilikan sahamnya di PT Bank Artos Indonesia Tbk menjadi 22,16 persen. Kini bank berganti baju menjadi Bank Jago.

Seolah tak mau kalah, Grab dikabarkan tengah mengincar PT Bank Capital Tbk dan PT Bank Aladin Syariah Tbk. Dedacorn asal Singapura ini bahkan menebar orang-orang penting di unicorn OVO (PT Visionet Internasional) ke dalam Bank Aladin. Mereka adalah Direktur Digital Banking Firdila Sari, Direktur Keuangan dan Strategi Willy Hambali, dan Direktur Teknologi Informasi Budi Kusmiantoro.

Terakhir, raksasa Alibaba melalui perusahaan teknologi finansial miliknya di Indonesia, PT Akulaku Silvrr Indonesia, juga mencaplok PT Bank Yudha Bakti Tbk yang kemudian berubah menjadi Bank Neo Commerce.

Mengapa Banyak Raksasa Teknologi Masuk Bisnis Perbankan?

Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas, Aviliani, berpandangan bahwa bisnis-bisnis digital tersebut melihat perbankan sebagai bisnis yang menguntungkan. Di sisi lain, dengan memiliki bank, otomatis bisnis digital akan memiliki aset yang selama ini tak dimiliki mereka.

"Semua ingin keuntungannya naik. Maka, harus selalu melihat kerja sama yang saling menguntungkan. Kalau Gojek saja tanpa ada pembiayaan, dia kan cuma dapat fee, tidak ada aset. Sedangkan bank kan ada aset, ada liability. Sehingga mereka bisa kerja sama untuk mendapatkan bunga atau dividen," beber Avi kepada Warta Ekonomi belum lama ini.

Menurut Avi, aset begitu penting bagi bisnis digital untuk bisa melantai di bursa. "Kalau tidak ada aset, siapa yang beli sahamnya nanti?" imbuhnya.

Di samping itu, aksi akuisisi perbankan ini juga sejalan dengan pola perusahaan teknologi yang umumnya mengarah pada superapp (aplikasi serba bisa). Artinya, keberadaan bank digital ini untuk melengkapi ekosistem para raksasa teknologi tersebut.

Avi pun bilang, bank digital memang harus memiliki ekosistem. Tanpa ekosistem, keberadaan bank digital akan sulit berjalan, bahkan sia-sia. "Bank digital harus punya ekosistem. (Tanpa ekosistem) begitu dia punya sistem pembayaran, mau bayar apa? Orang sekarang maunya satu untuk semua. Dengan satu bank, sudah bisa transaksi sektor riil, sudah bisa transaksi keuangan lain," ungkapnya.

Ia pun memberikan contoh bagaimana kepemilikan saham Gojek di Bank Jago bakal saling mengungtungkan kedua pihak karena pembentukan ekosistemnya.

"Gojek dengan Bank Jago saling menguntungkan. Dengan data Gojek sangat memungkinkan melihat karakteristik dari nasabah. Sehingga Bank Jago bisa memberikan pinjaman pada merchant (Gojek) karena dia bisa melihat transaksi moneter," jelas Avi.

Ia menambahkan, "ini sangat menguntungan karena yang satu bisa mendapatkan dana masyarakat untuk memberikan pinjaman, yang satu punya data untuk credit scoring." Bank digital di Indonesia, menurut Avi, bakal fokus pada sektor ritel dan payment system.

Avi juga membeberkan alasan bisnis digital di Tanah Air lebih memilih mengakuisisi bank kecil ketimbang mendirikan bank digitalnya sendiri. Berdasarkan rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang rencananya dirilis akhir semester I tahun ini, bank digital yang didirikan dari nol, harus memiliki mniminal modal inti sebesar Rp10 triliun. Pada kasus akuisisi dari bukan kelompok bank maka modal minimumnya cukup Rp3 triliun. Sedangkan, jika akuisisi dalam satu kelompok bank, modal minimumnya cukup Rp1 triliun.

"Bank yang dijual kan yang kecil-kecil, harganya Rp1 triliun, Rp400 miliar, kan murah. Ya mending beli," tukasnya.

Bank Digital di Negeri Panda

Beda dengan di Indonesia, raksasa teknologi di China tak melakukan aksi caplok-mencaplok bank. Bank digital di Negeri Panda ini sudah lebih dulu eksis. Mereka mendirikannya dari nol. Seperti Alibaba yang mendirikan MYBank dan Tencent dengan WeBank-nya.

MYBank milik Alibaba diperkenalkan pada pertengahan 2015 silam. Bank digital ini tak memiliki kantor cabang fisik. MYBank mengurus semua transaksi keuangan dalam ekosistem Alibaba melalui pembayaran nontunai Alipay.

MYBank pun bisa menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kredit mikro. Bahkan MYBank mengklaim telah menyalurkan kredit senilai CNY2 triliun atau sekira Rp4.060 triliun ke hampir 16 juta perusahaan kecil.

Tencent bersama dengan Baiyeyuan dan Liye Group meluncurkan WeBank di akhir tahun 2014 lalu setelah mendapat lisensi bank digital dari Bank Sentral China. WeBank juga tak memiliki kantor cabang fisik, hanya berbentuk website.

WeBank mengelola semua transaksi melalui WeChat Pay, dompet digital milik Tencent. Bank juga menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit mikro kepada mereka yang belum tersentuh layanan perbankan (unbankable). Diketahui saat ini valuasi WeBank telah mencapai US$21 miliar.

Asal tahu saja, Alipay dan WeChat Pay merupakan dompet digital paling dominan di pembayaran digital China. Keduanya menguasai hampir 80 persen pasar transaksi pembayaran digital China.

Riset Forst &Sulivan yang dikutip dari CNBC Indonesia (17/5/2021), menyebut pasar pembayaran China diperkirakan akan tumbuh menjadi US$96,7 triliun pada 2023, yang didorong dari peningkatan transaksi di e-commerce.

Laporan tersebut juga mengungkapkan jumlah pengguna aktif pembayaran mobile melalui ponsel akan naik dari 562 juta di 2017 menjadi 956 juta pada 2023. Kabar terbaru, MYBank dan WeBank ikut bergabung dalam uji coba Yuan Digital, menurut laporan Reuters yang dilansir Senin (17/5/2021). Uji coba ini dapat membuat pengguna bisa membeli produk dari toko fisik dan online yang berpartisipasi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: