Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Di Depan Tito sampai Moeldoko, Mahfud MD: Rakyat Resah, Takut Mati Karena Lapar Juga Karena Covid-19

Di Depan Tito sampai Moeldoko, Mahfud MD: Rakyat Resah, Takut Mati Karena Lapar Juga Karena Covid-19 Kredit Foto: Antara/Didik Suhartono
Warta Ekonomi -

Menko Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mengungkapkan bahwa ada dua keresahan yang dihadapi rakyat saat ini. Takut mati karena Covid-19 dan takut mati karena lapar.

Kemarin, Mahfud menggelar rapat terbatas. Temanya tentang penanganan Covid-19 dan kondisi politik serta keamanan dalam negeri.

Sejumlah pejabat hadir dalam rapat ini. Mereka adalah Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian; Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi; Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate; Panglima TNI Marsekal, Hadi Tjahjanto; Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo; Jaksa Agung, ST Burhanuddin; dan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko.  Baca Juga: Ada yang Manfaatkan Situasi Serang Jokowi, Mahfud: Gerak-Geriknya Kecium, Pemerintah Tahu Kok!

Setelah rapat, Mahfud langsung menggelar konferensi pers melalui akun YouTube Kemenko Polhukam. Mahfud tampil dengan setelan pakaian kemeja putih lengan panjang dengan dasi berwarna biru. Baca Juga: Pak Jokowi Mending Jangan Pakai WhatsApp! Bahaya, Pak!

Dalam paparannya, eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini mengatakan, dalam rapat tersebut diketahui ada dua ketakutan dan keresahan di tengah masyarakat akibat melonjaknya lagi kasus Corona. Apa itu? Pertama, masyarakat takut mati karena corona. Kedua, masyarakat takut mati karena ekonomi, susah cari makan.

“Jadi anggapan masyarakat kalau kita bersembunyi dari Corona, maka bisa mati secara ekonomi. Sementara kalau kita melakukan kegiatan ekonomi, bisa diserang Corona. Itu dilema saudara-saudara,” ujar Mahfud dengan mimik serius.

Meski begitu, pemerintah mengaku terus memantau keresahan tersebut. Mahfud menyarankan, ketakutan itu harus dihadapi dengan kerja sama antar elemen bangsa.

Kasus Corona di Indonesia memang terus meningkat. Kemarin, jumlah kasus positif Corona bertambah 45.416. Sehingga, total kasus terkonfirmasi kini tembus angka 3.127.826.

Sementara total orang yang sudah dinyatakan sembuh dari Covid-19, kini berjumlah 2.471.678, dengan tingkat kesembuhan 79,02 persen. Sedangkan jumlah kasus kematian akibat Covid-19, dilaporkan naik 1.415 orang. Sehingga, totalnya kini tembus angka 82.013 dengan tingkat kematian 2,62 persen.

Pandemi Corona memang membuat aktivitas rakyat terganggu. Ditambah keluarnya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Dampak langsung sangat dirasakan para pedagang dan buruh harian. Mereka harus memilih, keluar rumah cari duit tapi terancam kena Corona, atau diam di rumah tapi mati kelaparan. Bahkan di beberapa daerah masyarakat dan pedagang sudah mengibarkan bendera putih. Pesannya: mereka tak sanggup lagi menghadapi kesulitan ekonomi dan pandemi.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio menilai, ada dua poin yang mengakibatkan keresahan rakyat. Pertama, karena minimnya komunikasi publik pemerintah. Misalnya, sampai kapan dan kenapa harus PPKM. Kedua, karena bansosnya belum turun. Padahal, PPKM sudah berjalan dua minggu.

“Kalau soal duit, harus ada. Nggak mau tau dari mana. Mau cetak duit boleh. Negara lain cetak duit kok. Amerika, Malaysia, cetak sendiri. Nggak bisa bilang, negara nggak punya duit,” pungkasnya.

Sementara, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, pernyataan Mahfud harusnya memantapkan pemerintah untuk fokus menangani pandemi. Pasalnya, biang kerok ekonomi mandek adalah pandemi.

Dari berbagai indeks mulai dari Bloomberg, Nikkei, sampai The Economist Normalcy Index, menunjukkan posisi Indonesia salah satu yang terbawah dalam kecepatan pemulihan ekonomi di tengah pandemi.

Soal ekonomi, Bhima menyebut sudah memprihatinkan. Sejak Maret 2020, penduduk miskin bertambah lebih dari 1 juta. Yang masih bekerja namun terdampak pandemi, ada 19 juta orang. Memang di awal pandemi, masyarakat kelas menengah punya tabungan.

“Sekarang, jangankan tabungan, aset rumah dan kendaraan saja dijual. Kalau aset habis, ujungnya ke utang dengan bunga tinggi, sangat mencekik,” ulasnya.

Lagipula, program bantuan pemerintah Rp 300 ribu untuk sebulan terlalu kecil. Apa tolok ukurnya? Ambang garis kemiskinan saja sudah Rp 472 ribu per kepal. Selain kecil, pencairannya juga lambat. BLT dana desa, realisasinya baru 19,4 persen. Padahal masih banyak orang miskin yang belum mendapat Program Keluarga Harapan (Bansos PKH) dan bantuan sosial tunai (BST).

Bhima usul agar pemerintah secara pararel menggelontorkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) sebesar Rp 136 triliun untuk penambahan bansos. “Tunda proyek infrastruktur yang boros, dan potong gaji plus tunjangan pejabat agar merasakan susahnya rakyat di tengah pandemi,” cetus Bhima.

Sebelumnya, Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Maret 2021 angka kemiskinan tembus 27,54 juta orang, atau 10,14 persen dari total populasi di Indonesia.

Kepala BPS, Margo Yuwono meminta, kondisi ini diperhatikan pemerintah. Caranya banyak. Di antaranya, bisa dengan mengendalikan harga, perlindungan sosial bagi orang yang rentan, dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui berbagai stimulus.

Baca Juga: Kader Gerindra Gantikan AWK Sebagai Anggota DPD RI, De Gadjah: Efektif Kawal Kebijakan dan Pembangunan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Lestari Ningsih

Bagikan Artikel: