Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Anak Buah Biden Mulai Bicara HAM di Muka India, Ada yang Ingin Disindir?

Anak Buah Biden Mulai Bicara HAM di Muka India, Ada yang Ingin Disindir? Kredit Foto: AP Photo/Carolyn Kaster
Warta Ekonomi, Washington -

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken memperingatkan India pada Rabu (28/7/2021) bahwa demokrasi tidak boleh mengalami kemunduran, di tengah meningkatnya kritik dari kelompok hak asasi manusia (HAM) terkait adanya penyerangan terhadap kebebasan sipil.

Dalam kunjungan pertama ke India sejak bergabung dengan pemerintahan Presiden AS Joe Biden, Blinken mengadakan pembicaraan tentang pasokan vaksin COVID-19, kerja sama keamanan, Cina, dan Afganistan.

Baca Juga: India Mungkin Tidak Kooperatif dalam Masalah China Jelang Kunjungan Blinken, Apa yang Diharapkan?

Namun diplomat tinggi AS itu menggunakan pertemuan sebelumnya dengan para pemimpin masyarakat sipil untuk menekan pemerintah India mengenai catatan dugaan pelanggaran HAM pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi.

"Demokrasi kami (India dan AS) sedang dalam proses," kata Blinken. "Terkadang proses itu menyakitkan. Terkadang buruk. Tapi kekuatan demokrasi adalah dengan menerimanya dengan sungguh."

"Pada saat meningkatnya ancaman global terhadap demokrasi dan kebebasan internasional, kami berbicara tentang resesi demokrasi, sangat penting bahwa kami dua negara demokrasi terkemuka dunia terus berdiri bersama untuk mendukung cita-cita ini," tambahnya.

Kemudian pada Rabu (28/7/2021), Blinken bertemu dengan Perdana Menteri Modi dan Menteri Luar Negeri Subrahmanyam Jaishankar.

Apa kata AS tentang catatan HAM India?

Laporan HAM terbaru oleh Departemen Luar Negeri AS terhadap negara demokrasi terbesar di dunia itu, dirilis pada bulan Maret, dengan mengutip sejumlah pelanggaran HAM.

Laporan itu menunjuk pada "pembunuhan yang melanggar hukum dan sewenang-wenang, termasuk pembunuhan di luar proses hukum yang dilakukan oleh polisi" dan "pembatasan kebebasan berekspresi dan pers" termasuk penggunaan undang-undang pencemaran nama baik kriminal ke media sosial polisi.

Awal bulan ini, seorang pendeta dan aktivis hak suku berusia 84 tahun, yang didakwa melakukan pelanggaran terorisme, meninggal setelah sembilan bulan ditahan.

Hal itu memicu kemarahan internasional termasuk dari Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: