Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

KOL Stories x Rita Efendy: Menatap Masa Depan Saham Teknologi dan Digital

KOL Stories x Rita Efendy: Menatap Masa Depan Saham Teknologi dan Digital Kredit Foto: Instagram/Rita Efendy
Warta Ekonomi, Jakarta -

Saham teknologi dan terkait digital kini tengah hype di pasar modal Indonesia. Bahkan, saham-saham tersebut kini bisa dibilang menjadi penggerak bursa saham. Hal ini sejalan dengan banjirnya investor milenial di pasar modal.

Saham-saham yang berkaitan dengan teknologi dan digital ini manggung di pasar modal beberapa waktu terakhir ini, khususnya tahun ini. Ada beberapa saham yang katanya saham teknologi ini mengalami kenaiakan harga yang luar biasa. Sebut saja, PT DCI Indonesia Tbk (DCII) yang didirikan oleh Otto Toto Sugiri, seorang yang sudah lama berkecimpung di dunia teknologi.

Baca Juga: KOL Stories x Diskusi Investasi: Saham Bukalapak Bikin Ketar-ketir, Investor Harus Apa?

Saham DCII yang masuk ke Bursa sejak 6 Januari 2021 ini saat IPO hanya menawarkan saham di harga Rp420 per saham. Pada 16 Juni 2021 saham DCII melesat 14.000% hingga ke harga Rp59.000 per saham. Alhasil, saham perusahaan yang kini dimiliki oleh Salim Group ini pun disuspensi Bursa cukup lama dari 17 Juni 2021 hingga dibuka kembali pada 12 Agustus 2021. Meskipun saat ini harga saham terus drop, saham DCII terbilang premium karena bertengger di posisi Rp35.550 per saham.

Tak hanya DCII, saham perusahaan digital seperti PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang dinahkodai oleh bankir Jerry Ng ini juga menjadi primadona baru di pasar modal. Bahkan, Bank Jago berhasil membawa Jerry NG masuk ke jajaran orang terkaya di Indonesia versi Forbes. 

Karena saham Bank Jago melesat 649,64% dalam jangka waktu satu tahun, saham Bank yang kini juga dimiliki oleh Decacorn made in Indonesia, Gojek, ini pada tahun lalu masih berada di kisaran harga Rp2.000 per saham. Namun, kini sudah Rp16.475 per saham. Saat ini, saham ARTO pun sudah sejajar dengan bank milik Hartono bersaudara, yakni PT Bank Central Asia Tbk, Bank BUMN terbesar PT Bank Rakyat Indonesia Tbk.

Euphoria saham-saham teknologi dan digital makin menggema dengan kedatangan salah sau unicorn buatan Achmad Zaky, PT Bukalapak.com Tbk. Pergerakan saham BUKA memang tak segarang DCII dan ARTO. Namun, antusias investor domestik terhadap saham e-commerce ini tetap besar. Terbukti pada saat penawaran saham Bukalapak (melalui metode pooling) mengalami  kelebihan permintaan sekitar 8,7 kali lipat dengan pemesanan dari hampir 100.000 investor.

Lalu, sampai kapan euphoria saham-saham teknologi dan digital ini akan bertahan? Dan, bagaimana masa depan saham teknologi dan Digital?

Warta Ekonomi melalui KOL Stories akan membahasnya bersama dengan Rita Efendy yang merupakan Investment Consultant dan Profesional Trader yang sudah tidak asing lagi di dunia Investasi.

Saham-saham yang berbau teknologi dan digital kini menjadi primadona di pasar modal, bagaimana kondisi ini menurut Anda? Apakah ke depannya saham-saham ini akan menjadi penggerakan IHSG? Sampai kapan kah trend ini akan bertahan?

Bursa kita memang ada temanya. Beberapa tahun yang lalu itu bertema Bank. Semua bank saat itu melakukan rally besar-besaran. Karena kita tahun ini masih pandemi, saham-saham teknologi atau digital sebenarnya masih menjadi primadona. Kondisi seperti ini masih akan berlangsung. Dengan adanya pandemi ini, terjadi transisi ekonomi dari bentuk perekonomian lama yang serba manual menjadi new economy, di mana di negara lain sendiri sudah lebih dulu menerapkannya. Karena dengan new economy, potensi growth pada saham digital itu sangat besar. Ekonomi digital masih bisa tumbuh lebih besar, walau perekonomian kita terpuruk di awal pandemi kemarin. Sampai tahun depan, kondisi ini akan tetap berlangsung.

Dengan adanya Arto yang memiliki market cap sebesar Rp224 triliun, kemudian Emtek yang merupakan tech stock dengan market Rp135 triliun, kelihatannya saham-saham ini masih bisa menopang pergerakan indeks ke depannya. Saham-saham teknologi masih berpotensi menjadi penggerak indeks ke depannya karena prospek new economy yang makin baik. Itu baru saham dengan market cap besar. Belum lagi bank digital yang secara aktif mendominasi transaksi perdagangan IDX.

Semasa pandemi, kita telah mengubah gaya hidup kita. Jika sebelumnya kita membeli barang langsung ke toko, sekarang harus online. Banyak juga toko yang tidak menerima pembayaran tunai. Mau tidak mau kondisi ini berlangsung hingga waktu yang cukup lama.

Melihat besarnya minat pelaku pasar kepada perusahaan teknologi dan digital membuat harga saham-saham perusahaan di sektor ini berterbangan. Dari sekian banyak saham yang bangkit dari kubur, manakah saham perusahaan teknologi dan digital yang masih wajar dan murah?

Ada berbagai macam saham teknologi yang menarik. Misalanya, MLPT memiliki harga yang masih murah dengan PBV yang masih 10 kali lipat jika di-compare dengan DCII sudah 95 kali. Ini masih cukup menarik, walaupun untuk sementara data centernya hanya 5 megawatt, tetapi bisa mendevelop hingga 25 megawatt. MLPT juga pegang IBM Indonesia, di mana akan ada update teknologi ke depannya. Tanpa kita ketahui, MLPT juga menguasai 60 persen mesin EDC. Karena pandemi Covid-19 yang membuat orang menghindari kontak langsung, permintaan mesin EDC akan selalu bertumbuh.

Selanjutnya adalah MARI yang memiliki Noice, aplikasi podcast yang banyak orang putar selama kondisi lockdown seperti ini. Kelihatannya MARI akan develop Noice 2.0. Menurut perkiraan, mereka juga akan men-develop Noice 3.0, di mana kondisi tersebut membuat Noice untuk menghasilkan pendapatan. Selain itu, MARI juga memiliki Noice Live yang mirip dengan Clubhouse. Kemudian ada juga bank-bank digital seperti BBYB akan menjadi katalis. Harganya masih rendah, sekitar 1.800, sedangkan riset dari analis menargetkan harganya akan sampai 3.000 hingga 4.000.

Baca Juga: KOL Stories x Bekti Sutikna: Niat Jadi Trader, Sudah Tahu Aturan Mainnya Belum?

Kebanyakan perusahaan teknologi dan digital masih mengalami kerugian, tetapi harga saham tinggi. Apakah memang ke depannya akan terjadi pergeseran dalam melihat suatu saham, dengan tidak lagi berkaca pada fundamental saja?

Saham teknologi tidak bisa dilihat secara fundamental seperti ekonomi. Kita ambil contoh Dana. Dulu kita tertarik memakai Dana karena memberikan banyak promo. Tentu saja perusahaan akan membakar uang untuk attract more consumer. Setelah terbiasa menggunakan aplikasi tersebut walau promonya sudah berkurang, kita akan tetap nyaman. Ketika mereka sudah stop burning money, kondisinya akan berubah dan valuasinya akan meningkat tinggi. Itu dikompensasikan dari pertumbuhan kinerja bisnisnya.

Lalu, bagaimana cara menghitung harga saham perusahaan teknologi dan digital yang tepat menurut Anda?

Setiap company menggunakan hitungan yang berbeda-beda. Ada company yang menggunakan gross merchandise value (GMV) atau gross transaction value, atau dengan total processing value seperti yang dipakai Bukalapak. Contohnya, GMV e-commerce di Indonesia tahun 2020 US$40 miliar atau setara Rp573 triliun.

Shopee pada saat itu membukukan sekitar RP14,2 miliar dengan pangsa pasar 37 persen. Di posisi kedua ada Tokopedia dengan pangsa pasar 35 persen dengan GMV RP15 miliar. Karena Bukalapak menggunakan total processing value dengan perhitungan yang berbeda, karena sifatnya Bussiness-to-Bussiness (B2B), TPV Bukalapak mencapai Rp85 triliun di tahun 2020, sedangkan price value-nya sekitar Rp64,4 triliun. Berarti rasionya 0,7 kali. Jadi Bukalapak terbilang tidak mahal, masih wajar.

Pergerakan saham perusahaan yang katanya akan menjadi perusahaan teknologi dan digital mengalami fluktuasi yang cukup tinggi. Apakah memang saham-saham perusahaan tersebut lebih cocok untuk para scalper atau investior jangka panjang juga tetap bisa menjadikannya pilihan?

Memang kalau kita lihat memang sedang hype dan ramai dipenuhi oleh scalper. Company semacam ini untuk investasi dan scalper masih cocok. Namun, kita harus lihat jika ingin invest harus yang liquid. Kalau tidak liquid, scalpernya tidak bisa keluar. Seperti MLPT tadi itu bagus, mungkin untuk jangka panjang cocok. AGRO dan ARTO walau harga keduanya sudah naik, mereka punya kesempatan untuk masuk ke indeks internasional. Jadi saham-saham seperti ini harus kita lihat story-nya apa karena perkembangannya masih panjang sekali.

Sebagai penutup, adakah yang ingin disampaikan kepada teman-teman semua?

Pesan saya hanya satu, jangan FOMO. Jadi sebagai investor, kita harus tenang tidak boleh ikut-ikutan orang. Kalau ada waktu, setiap weekend komunitas kita buka edukasi saham. Perbanyak belajar agar bisa lebih hati-hati memilih saham.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Patrick Trusto Jati Wibowo
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: