Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Praktisi Hukum sebut Klaim Kawasan Hutan Berpotensi Rontokan Kinerja Emiten di BEI

Praktisi Hukum sebut Klaim Kawasan Hutan Berpotensi Rontokan Kinerja Emiten di BEI Kredit Foto: Antara/Reno Esnir
Warta Ekonomi, Jakarta -

Praktisi hukum kebijakan kehutanan, Sadino menilai klaim kawasan hutan punya potensi konflik tinggi yang bakal menyulitkan pelaku usaha terutama yang berbasis sumber daya alam dan pemanfaatan lahan perkebunan dan pertambangan.

Hal ini karena banyak regulasi yang terbit melalui SK Menteri KLHK di sejumlah provinsi kerap menabrak hak konstitusional kepemilikan pelaku usaha seperti hak milik dan HGU.

Salah satu SK yang menabrak hak pelaku usaha diantaranya nomor SK.579/Menhut-II/2014 tanggal 24 Juni 2014 tentang Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara.

Lewat SK ini sekitar 92 ribu hektar lahan yang telah punya izin HGU tidak akan diakui karena dianggap berada di kawasan hutan.

"Bayangkan jika satu perusahaan perkebunan yang notabene perusahaan publik yang mengklaim punya 100 ribu hektar lahan ber HGU, tiba-tiba harus kehilangan 30 ribu lahannya karena dianggap masuk kawasan hutan oleh KLHK, bagaimana harus mempertanggungkan ke publik,” kata Sadino di Jakarta, Selasa 31 Agustus 2021.

Pemegang saham khususnya saham publik pastinya mempertanyakan transparansi perusahaan karena dianggap menyembuyikan informasi penting pada saat penawaran saham terbatas atau initial public offering (IPO).

Dampak sudah pasti kepercayaan masyarakat terhadap pasar modal bakal merosot dan harga saham pun bakal terpuruk. 

"Potensi perusahaan publik yang akan terkena dampak tersebut, bukan hanya satu atau dua, tapi jumlahnya puluhan. Hal Ini karena regulasi tersebut tidak hanya berlaku di Sumatera Utara, namun juga ada regulasi sejenis di banyak provinsi,” kata Sadino.

Sadino mengingatkan, bahwa regulasi terkait klaim kawasan hutan itu juga bisa membatalkan banyak proyek strategis pemerintah.

Sementara itu, praktisi hukum Ricky Sitorus mengingatkan, negara wajib menghormati hak-hak konstitusional pelaku usaha terkait kepemilikan lahan.

"Negara harus mengakui sertifikat tanah itu sebagai legalitas kepemilikan sah sepanjang tidak ada perubahan berdasarkan keputusan pengadilan,” kata Ricky Sitorus.

Ricky Sitorus menilai, penetapan satu kawasan hutan hanya melalui penunjukkan seperti yang terjadi saaat ini di sejumlah provinsi tidak tepat dan rapuh.

Menurutnya, sebaiknya, proses penunjukan penetapan kawasan hutan harus mengikuti tahapan-tahapan yang diperlukan dalam sampai menjadi suatu kawasan hutan yang tepat dan tetap dengan menghormati hak masyarakat.

Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki), Petrus Gunarso mengingatkan,  tanpa perubahan sistem dalam penetapan kawasan hutan, maka kepastian berusaha dan kepastian hak akan tanah akan selamanya terpasung.

Dalam hal ini, Kementerian LHK seharusnya berperan sebagai pengayom bagi seluruh sektor karena fungsi jamak dari hutan.

Ia juga mengatakan KLHK  perlu mengubah sistem dalam penetapan kawasan hutan menjadi lebih manusiawi dengan mengadopsi asas yang berlaku umum dalam pendaftaran tanah yaitu “Contradictiore delimitatie”.

KLHK juga tidak berjalan sendiri dan perlu bekerja sama dengan sektor lain  dalam upaya percepatan penyelesaian penataan kawasan hutan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: