RUU KUP Berpotensi Timbulkan Demand Shock, Komisi XI DPR: Kontradiktif dengan Tujuan PEN
Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan, kebijakan dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP) berpotensi menimbulkan demand shock pada 2022 dan 2023 mendatang. Hal ini menurutnya bertentangan dengan tujuan pemulihan ekonomi nasional.
"Ini justru kontradiktif dengan tujuan pemulihan ekonomi nasional. Karena apa? 2023 menurut UU kita harus kembali ke devisit 3%. Sementara 2022 besok, Amerika sudah mulai melakukan taper tantrum," kata Misbakhun dalam webinar tentang RUU KUP yang diselenggarakan Tax Centre UI, Jumat (10/9/2021).
Baca Juga: RUU KUP Berpotensi Ancam Kelas Menengah di Indonesia
Meskipun tak semua kebijakan moneter akan diberlakukan dalam taper tantrum nanti, Misbakhun menilai hal tersebut akan membuat tarif Bank Indonesia (BI) meningkat.
"Kemampuan BI menyerap surat utang pemerintah pasti akan lebih tinggi karena situasi likuiditas si pasar uang pasti akan berkurang karena uang banyak bergeser ke Amerika. Uang kita terbatas, pemerintah issued surat utang itu akan berkurang karena daya serap pasar, maka tingkat suku bunga akan naik," paparnya.
Situasi makro seperti ini, menurut Misbakhun, penting untuk diperhatikan. Pasalnya, ketika implementasi KUP berjalan di 2022 dan 2023, harga barang akan meningkat sementara net income menurun. Situasi ini kemudian akan menyebabkan disposible income menurun dan cost-push inflation meningkat. Pada akhirnya, hal ini akan membuat daya beli menurun.
"Investasi juga akan turun, pertumbuhan [ekonomi] juga turun," imbuhnya.
Lebih lanjut, demand shock juga dapat memicu kerentanan sosial yang berpotensi mengganggu stabilitas pilitik. Ketika terjadi instabilitas politik, sektor ekonomi akan menjadi yang paling pertama terdampak.
"Credit rating Indonesia tidak hanya terancam downgrade satu level, tetapi dapat kehilangan status investment grade-nya," terang Misbakhun.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah kondisi Surat Berharga Negara (SBN). Sekitar 20% SBN masih dipegang oleh pihak asing. Misbakhun mengatakan, apabila terjadi gejola sosial politik ke depannya, pasar obligasi Indonesia rentan menjadi sasaran spekulasi yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan krisis multidimensi.
"Saya ingin memberitahukan dampak-dampak makro ekonominya, dan ini sangat berbahaya," tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: