Setap tahun Cukai Hasil Tembakau (CHT) bisa dipastikan selalu naik. Argumentasi pemerintah bahwa dengan menaikan CHT akan mengurangi prevalensi merokok. Namun, argumentasi pemerintah bertolak belakang dengan fakta di lapangan.
Hasil kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB-UB) menyatakan bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok karena kenaikan harga rokok bukanlah faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok.
Hal ini juga menunjukkan bahwa harga bukan merupakan faktor penyebab seseorang tetap merokok atau seseorang berhenti merokok. Kenaikan harga rokok akan menyebabkan perokok mencari alternatif rokok dengan harga yang lebih murah/terjangkau, salah satu alternatifnya adalah rokok ilegal.
Pandangan tersebut dikemukakan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Prof. Candra Fajri Ananda, Ph.D dalam forum group discussion daring yang diselenggarakan oleh PPKE FEB-UB bertajuk “Merajut Kebijakan di Sektor Industri Hasil Tembakau yang Berkeadilan”, belum lama ini. Baca Juga: Sweeping Etalase Rokok, Satpol PP Dinilai Lampaui Kewenangannya
Prof. Candra Fajri Ananda mengatakan, merujuk hasil kajian PPKE FEB-UB terkait pola perilaku konsumen produk industri hasil tembakau (IHT) menunjukkan, sebagian besar (58,3%) perokok usia dewasa telah mengkonsumsi rokok dalam periode yang lama, yakni lebih dari 6 tahun. Di samping itu, para perokok tersebut juga telah memulai konsumsi rokok sejak usia dini (usia 10 – 17 tahun).
“Kebiasaan merokok menjadi alasan utama seseorang tetap merokok di usia dewasa (? 18 tahun). Hasil survey juga menunjukkan bahwa 86,5% perokok tidak akan berhenti merokok meskipun harga rokok naik. Hal itu terjadi karena merokok telah menjadi kebiasaan bagi 76,4% responden dengan periode merokok > 6 tahun, dan merokok dibutuhkan untuk mengatasi tekanan psikologis (stress) bagi 9,6% perokok di Indonesia,” terang Candra dalam keterangan resmi, Kamis (23/9/2021).
Dia juga mengemukakan, hasil statistik dengan merujuk hasil survey di lapangan terhadap 1.050 responden menunjukkan bahwa faktor dominan penyebab seseorang memutuskan untuk mengkonsumsi rokok di usia dewasa diantaranya: (1) tingkat kebiasaan; (2) pengaruh teman / lingkungan sekitar rumah; dan (3) tekanan psikologis (stres).
“Hasil analisis statistik kami menunjukkan bahwa ternyata harga rokok tidak efektif menyebabkan seseorang berhenti merokok. Begitu juga iklan dan lingkungan keluarga,” kata Candra. Baca Juga: HPTL Layak Diberi Kesempatan untuk Tekan Prevalensi Perokok Indonesia
Oleh karena itu, PPKE FEB-UB merekomendasikan agar pemerintah perlu jalan lain dalam menekan prevelansi merokok. “Diantaranya melalui optimalisasi program penyuluhan/sosialisasi di tingkat desa dan di lingkungan pendidikan melalui posyandu, PKK, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lingkungan pendidikan (SD, SMP, SMA/SMK tentang dampak mengkonsumsi produk IHT terhadap kesehatan,” terangnya.
Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan meminta pemerintah tidak menaikan cukai hasil tembakau pada tahun 2022. Pasalnya, dampak kenaikan cukai tahun 2020 dan 2021 serta masih belum berakhirnya pandemi, membuat daya beli rendah dan berdampak terhadap turunnya omzet rokok legal.
Henry Najoan bilang, kenaikan eksesif cukai 23% dan harga jual eceran (HJE) 35% pada 2020, adalah angka kenaikan yang jauh di atas angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi (tertinggi sejak berlaku sistem spesifik 2009). Kondisi IHT belum sempat pulih, ditekan lagi oleh kenaikan cukai 12,5 % pada tahun 2021.
“Diperkirakan hingga akhir tahun 2021 industri rokok legal berpotensi mengalami penurunan 15-20%. Jika hanya turun 10%, maka produksi sekitar 297 milyar batang,” kata Henry Najoan. Baca Juga: Jadi Bagian Reformasi Fiskal, Simplifikasi Tarif Cukai Rokok Kian Dekat
Oleh karena itu, Perkumpulan GAPPRI berharap tarif CHT pada tahun 2022 tidak naik/tetap sebesar tarif CHT pada tahun 2021. “Mengingat kondisi IHT saat ini sangat terhimpit dan kritis, sehingga perlu relaksasi minimum 3 tahun bagi usaha IHT untuk pemulihan,” harapnya.
Sementara itu, asisten deputi pengembangan industri Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman mengatakan, upaya prevalensi merokok dapat dilakukan diantaranya melalui pembatasan penjualan rokok di depan sekolah.
"Penjual rokok perlu diedukasi agar tidak menjual rokok kepada anak-anak tujuannya untuk menekankan bahwa rokok adalah produk yang dibatasi," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman