Dilema ASEAN di Laut China Selatan, Mampukah Keluar dari Perselisihan Panas?
Terlepas dari keinginan untuk perdamaian di Laut China Selatan, sejarah Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan pandangan negara-negara anggotanya dapat menahan mereka untuk berkontribusi secara berguna dalam menyelesaikan perselisihan, tulis Aristyo Rizka Darmawan dalam Asia & Pacific Policy Society.
Sejak didirikan pada tahun 1967, ASEAN telah menjadi landasan kebijakan luar negeri negara-negara Asia Tenggara, dan organisasi ini sangat penting dalam mengamankan perdamaian dan keamanan selama Perang Dingin.
Baca Juga: Di Muka Para Menlu ASEAN, Indonesia Tegas Angkat 5 Isu Besar Ini
Apalagi, sebelum terbentuknya ASEAN, konflik antar negara Asia Tenggara jauh lebih banyak, membuat kawasan ini rapuh, dan pembentukannya telah membawa kawasan yang lebih sejahtera dan damai.
Bahkan, mantan Presiden Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) Kishore Mahbubani bahkan berpendapat bahwa ASEAN pantas dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian atas apa yang telah dilakukannya dalam menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan.
Tapi hari ini, perdamaian ini mungkin berada di bawah ancaman. Banyak negara Asia Tenggara menghadapi ujian besar bagi perdamaian dan keamanan mereka dalam bentuk sengketa Laut China Selatan, yang mungkin merupakan salah satu masalah paling rumit yang dihadapi ASEAN.
Di atas segalanya, pertanyaan yang dihadapi kawasan ini adalah sejauh mana ASEAN, sebagai organisasi regional, dapat berperan dalam menyelesaikan sengketa Laut China Selatan. Sayangnya, ASEAN sendiri memiliki sedikit pengaruh atas bagaimana keadaan di Laut China Selatan.
Tentu saja, harus dicatat bahwa sengketa Laut China Selatan bukanlah konflik intra-ASEAN. Ini adalah konflik yang melibatkan beberapa negara anggota maritim ASEAN, yaitu Malaysia, Vietnam, Brunei, dan Filipina, tetapi penggugat utama, China, bukan negara anggota ASEAN.
Meskipun Indonesia bukan pihak yang bersengketa, Indonesia memiliki kepentingan yang kuat dalam sengketa tersebut dan telah terlibat dalam banyak eskalasi dan konfrontasi di sepanjang sembilan garis putus-putus yang diklaim secara ilegal oleh China di Laut China Selatan.
Namun, itu tidak mempengaruhi semua negara anggota ASEAN secara langsung. Negara-negara ASEAN lainnya, seperti Thailand, Kamboja, Laos, dan Myanmar, bukanlah pihak yang bersengketa dan juga tidak berhadapan langsung dengan China di Laut China Selatan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto