Stafsus Menkeu Ngetwit Soal Utang Tersembunyi Rp245 T ke China Jika Wanprestasi, Risikonya Bisa...
Laporan AidData, lembaga riset internasional, bikin heboh Tanah Air. Lembaga yang berbasis di Amerika Serikat itu, menyebut, Indonesia mempunyai “utang tersembunyi” alias hidden debt kepada China dengan nilai fantastis sekitar Rp 245 triliun. Menanggapi kehebohan ini, anak buah Menteri Keuangan Sri Mulyani langsung menenangkan.
Keberadaan utang tersembunyi itu tertuang dalam laporan riset bertajuk “Banking on the Belt and Road: Insights From A New Global Dataset Of 13,427 Chinese Development Projects”, yang dirilis akhir September lalu.
Baca Juga: Pemerintah dan BI Bikin Utang Luar Negeri RI Merangkak ke US$423,5 Miliar
Laporan setebal 166 halaman itu menjelaskan, China memberikan fasilitas utang kepada negara-negara berkembang untuk merealisasikan jalur sutera baru atau dikenal dengan Belt and Road Initiative (BRI). Program ini dicetuskan oleh Presiden Xi Jinping pada 2013, untuk membangun aliansi ekonomi besar di mana China sebagai porosnya.
Total ada 13.427 proyek pembangunan infrastruktur di 165 negara yang dibiayai utang China. Proyek tersebut tersebar di berbagai negara terutama negara miskin dan berkembang. Saat ini, ada 45 negara miskin yang memiliki utang kepada China. Jumlahnya sekitar 375 dolar AS atau sekitar Rp 5.500 triliun.
Nah, dari laporan itu disebutkan ada 71 proyek pembangunan infrastruktur yang dibiayai dalam skema BRI ini. Indonesia juga disebutkan punya utang tersembunyi kepada China sebesar 17,28 miliar dolar AS atau Rp 245,37 triliun. Utang tersebut nilainya setara 1,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Direktur Eksekutif AidData, Brad Parks menjelaskan, utang itu memang bukan diberikan kepada pemerintah. Tapi, kepada BUMN atau perbankan untuk membangun berbagai proyek infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bendungan, rel kereta api, bandara, dan lainnya. Karena itu, sebagian besar utang tersebut tidak muncul di neraca pemerintah.
Persoalannya, 39 persen dari proyek yang didanai China itu bermasalah karena korupsi dan sebagainya. Puluhan negara miskin dilaporkan tidak mampu membayar utang kepada China. Ujung-ujungnya pemerintah negara tersebut yang harus membayar utang.
Akibatnya banyak pemerintah yang kecele karena kontrak utang tak jelas misalnya berapa jumlah utang yang harus dibayarkan. Akibat persoalan ini, banyak pemimpin negara yang awalnya ingin ikut-ikutan BRI, sekarang menangguhkan atau membatalkan proyek infrastruktur China, karena masalah keberlanjutan utang.
Menanggapi kehebohan ini, Stafsus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menyampaikan klarifikasi untuk menenangkan. Dia bilang, utang yang dilaporkan oleh AidData bukanlah milik pemerintah. Utang tersebut milik BUMN hingga perusahaan swasta.
“Itu bukan utang pemerintah tapi dikait-kaitkan,” tulis Yustinus dalam akun Twitter @prastow, kemarin.
Ia menjelaskan, utang tersembunyi yang disebut oleh AidData adalah utang yang dihasilkan dari skema Business to Business (b to b) yang dilakukan dengan BUMN, bank milik negara, special purpose vehicle (SPV), perusahaan patungan, dan perusahaan swasta.
“Utang BUMN tidak tercatat sebagai utang pemerintah dan bukan bagian dari utang yang dikelola pemerintah,” terangnya.
Begitu juga dengan utang dari perusahaan patungan dan swasta. Hal ini tak menjadi tanggung jawab atau wewenang pemerintah. Sehingga, jika pihak-pihak tersebut menerima pinjaman, maka pinjaman ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka.
Meski begitu, jika utang ini menimbulkan wanprestasi, maka risikonya juga akan sampai ke pemerintah. “Utang non pemerintah tapi jika wanprestasi berisiko ‘nyrempet’ pemerintah,” jelas Yustinus.
Sementara, ia menjelaskan seluruh penarikan Utang Luar Negeri (ULN) yang dilakukan pemerintah, BUMN, dan swasta tercatat dalam statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) yang dipublikasikan secara bulanan oleh Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan dengan klir dan transparan.
Berdasarkan data SULNI per akhir Juli 2021, total ULN dari China sebesar 21,12 miliar dolar AS. Angka itu terdiri dari utang pemerintah sebesar 1,66 miliar dolar AS, serta utang BUMN dan swasta sebesar 19,46 miliar dolar AS.
“Dengan demikian, dalam konteks Indonesia, tidak tepat jika terdapat ULN (termasuk pinjaman China) yang dikategorikan sebagai hidden debt,” ujar Yustinus.
Menurutnya, seluruh ULN yang masuk ke Indonesia tercatat dalam SULNI. Informasi itu bisa diakses oleh publik. “Tak ada yang disembunyikan atau sembunyi-sembunyi,” imbuhnya.
Selanjutnya, pemerintah juga menjamin sejumlah utang BUMN. Utang ini dianggap sebagai kontinjensi pemerintah. “Kewajiban kontinjensi tersebut tidak akan menjadi beban yang harus dibayarkan pemerintah sepanjang mitigasi risiko default dijalankan. Ini yang terjadi saat ini, zero default atas jaminan pemerintah,” jelas Yustinus.
Kewajiban kontinjensi, sambung dia, memiliki batasan maksimal penjaminan oleh pemerintah. Sebagai gambaran, batas maksimal pemberian penjaminan baru terhadap proyek infrastruktur yang diusulkan adalah 6 persen terhadap PDB 2024.
“Dengan tata kelola seperti ini, mitigasi risiko dilakukan sedini mungkin dan tidak akan menjadi beban pemerintah, apalagi beban yang tak terbayarkan,” kata Yustinus.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut utang tersembunyi itu hanya istilah saja untuk menggambarkan risiko utang yang bisa ditanggung pemerintah. Bukan berarti benar tersembunyi.
Ia mencontohkan salah satu utang tersembunyi itu ada di proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Proyek pembangunan yang awalnya menggunakan skema B to B akhirnya harus ditanggung dan jadi beban pemerintah karena dibiayai APBN. Dengan begitu, otomatis jumlah utang negara akan meningkat secara langsung maupun tidak langsung.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto