Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

ST Burhanuddin Minta Koruptor Dihukum Mati, Pakar: Bukan Urusan Jaksa Agung!

ST Burhanuddin Minta Koruptor Dihukum Mati, Pakar: Bukan Urusan Jaksa Agung! Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Jaksa Agung ST Burhanuddin mewacanakan hukuman mati terhadap koruptor Jiwasraya dan Asabri. Menanggapinya, Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Universitas Pakuan Bogor, Yenti Garnasih menilai, hal itu bukanlah kewenangan jaksa agung. Kejaksaan, katanya, hanya bisa melakukan penuntutan, namun yang memutuskan adalah majelis hakim.

"Kalau pidana mati itu kan urusannya bukan di jaksa agung, urusannya di hakimnya. Jaksa hanya menuntut kan, tapi apakah nanti bisa dilaksanakan atau tidak, atau dijatuhkan atau tidak itu tergantung hakim," ujar Yenti, Sabtu (30/10). Baca Juga: Jaksa Agung Ditantang Habis-Habisan: Kalau ST Burhanuddin yang Dihukum Mati, Berani Nggak?!

Menurutnya, pidana mati memiliki sejumlah risiko yang harus diperhitungkan secara matang. Harus berhitung, jika seandainya uang para koruptor itu disimpan di luar negeri. Baca Juga: Jaksa Agung Mau Hukum Mati Koruptor, ICW: Ngurus Jaksa Pinangki Aja Nggak.....

"Kemungkinan kita agak susah meminta bantuan kepada negara lain, tolong rampaskan uang-uang koruptor ini, kecuali negara itu juga menerapkan pidana mati," bebernya. 

Misalnya, Indonesia menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Sementara harta kekayaannya ada di Malaysia atau Singapura, yang juga menerapkan hukuman mati. "Kita minta bantuan ke sana, itu oke saja," imbuh eks Ketua Pansel Capim KPK itu.

Tapi jika Indonesia menerapkan pidana mati dan harta kekayaan koruptor ada di negara yang tidak menganut pidana mati, biasanya ditolak. "Karena 'nggak bisa, kan negara saya dan negara anda berbeda prinsip karena kami tidak lagi menganut pidana mati, namun negara anda menganut pidana mati'," jelasnya.

Yenti mengingatkan, kasus korupsi tidak hanya pada tindak pidananya saja. Tapi juga terkait erat dengan penyitaan aset hasil dari tindak pidana korupsinya seoptimal mungkin.

Jaksa juga harus cermat dalam melakukan penyitaan atau perampasan, sehingga tidak ada pihak lain yang dirugikan.

"Hal itu memang benar-benar harus dilakukan secara transparan kepada masyarakat, yang sudah disita itu berapa, gitu. Harus dikaitkan juga dengan proses penyitaannya, karena kan kemarin ada pihak ketiga yang beritikad baik dimenangkan gugatannya," sarannya.

"Jadi jangan kita gebar-geber di proses penyitaannya saja, tapi jumlahnya berapa dan apakah betul itu milik tersangka atau dibeli oleh tersangka dengan uang korupsi?" imbuh Yenti.

Yenti juga mempertanyakan ketegasan Jaksa Agung dalam kasus suap eks jaksa Pinangki Sirna Malasari yang masih dianggap belum memenuhi rasa keadilan.

"Jika mereka mengambil langkah-langkah yang tidak adil karena orang tersebut bagian dari Korpsnya sendiri, bahkan malah ada pengurangan bukannya dihukum maksimal, itu kan menunjukkan bahwa dia tidak bisa menegakkan hukum dengan objektif," bebernya.

Seharusnya, menurut KUHP, pejabat-pejabat tertentu yang melakukan tindak pidana harus ada pemberatnya.

"Jadi itu seperti duri dalam daging. Nanti orang ngomong, 'aduh sekarang galak ya, tapi terhadap korpsnya sendiri yang harusnya diperberat malah nggak', gitu. Nah diejek nantinya kan?" ingat Yenti.

Selain pemidanaan bertujuan untuk penjeraan, Yenti mengatakan, yang tak kalah penting adalah pencegahan tindak pidana korupsi.

Hal itu, perlu kerja sama semua pihak. Mulai dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Jangan membuat sistem yang membuat orang mau korupsi.

"Kita jangan hanya melihat orang korupsi di pidana mati, dipenjarakan, dibuat jera, itu tidak bisa! Jadi kita sudah saatnya harus bicara juga tentang pencegahan tindak pidana korupsi secara sistematis, dan melihat sistem-sistem yang ada di eksekutif, yudikatif dan legislatif," urainya.

Ia pun mengatakan bahwa seluruh pemangku kebijakan juga harus berkomitmen dalam melakukan penegakan hukuman mati bila nanti akhirnya disepakati, jangan sampai lembaga-lembaga terkait tak sejalan. "Nanti hakimnya malah bertolak belakang," kata Yenti yang juga tim perumus RUU KUHP.

Yenti menyebut jika RUU KUHP disahkan, nantinya mekanisme hukuman mati akan berubah. Pidana mati tidak langsung dilakukan seperti sekarang ini. Tapi baru akan dilaksanakan bila 'inkracht-nya telah 10 tahun.

"Jadi bila sekarang dijatuhkan pidana mati, itu ada waktu 10 tahun untuk menilai kembali. Setelah 10 tahun, baru akan diputuskan 'oke pidana mati atau akan berubah' gitu, jadi pidana mati yang tertunda atau pidana mati percobaan," tandasnya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Lestari Ningsih

Bagikan Artikel: