Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kemendag Bikin Program Minyak Goreng Satu Harga, Ini Kata Pengamat

Kemendag Bikin Program Minyak Goreng Satu Harga, Ini Kata Pengamat Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebijakan minyak goreng satu harga yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) guna menstabilkan harga minyak yang sempat melambung perlu diperhatikan efektivitasnya. 

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan skema yang digunakan untuk minyak goreng satu harga dengan menggunakan skema subsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) perlu diperhatikan efektivitasnya. 

"Kalau dilakukan selama 6 bulan, apakah ini akan efektif mengendalikan kenaikan harga minyak goreng karena sejauh ini tren harga CPO di pasar internasional terjadi kenaikan hingga 60 persen dibandingkan tahun sebelumnya," ujar Bhima saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Sabtu (22/1/2022).

Baca Juga: Ekspor Non-Migas 2021 Indonesia Cetak Rekor, Kontribusi CPO Masuk 5 Besar

Melihat tren satu tahun terakhir, harga CPO yang melonjak hingga 60 persen kemungkinan besar akan berlanjut hingga akhir 2022.

Dengan begitu, pemerintah tentunya harus memikirkan lebih lanjut terkait skema yang akan dipakai guna menekan harga minyak tetap stabil.

"Jadi 6 bulan ngga cukup harusnya ada kepastian selama 1 tahun kedepan kalau mau buat kebijakan ini dan anggarannya ngga tentu ngga bisa memang dari BPDPKS tetapi harus dari APBN," ujarnya.

Selain itu, Bhima mengatakan yang perlu diperhatikan adalah dari sisi mekanisme pengawasanya. Karena dengan alokasi minyak goreng yang terbatas untuk yang 1 harga ini atau kemasan khusus di khawatirkan akan tidak cukup atau habis.

"Dikhawatirkan  di pasarannya bisa habis gitu, karena jumlah permintaannya sangat tinggi sementara juga kita lihat bagaimana pengawasan terkait dengan disparitas antara harga di daerah jawa dengan di luar jawa misalnya karena masih terjadi disparitas kan saat ini," ungkapnya.

Disparitas tersebut terlihat mulai dari biaya transportasi atau distribusi, jadi pemerintah harus memikirkan agar disparitas tersebut bisa sama.

"Itu pengawasannya perlu dijelaskan kepada publik sehingga publik bisa bantu mengawasi, masyarakat bisa bantu mengawasi," ujar Bhima.

Bhima melanjutkan, subsidi yang diberikan jika dilihat lebih dalam maka pemerintah memberikan subsidi kepada swasta bukan langsung kepada masyarakat sebagai penerima akhir.

"Maka disini perlu adanya transparansi subsidi ini kepada swasta dan juga lebih akuntabilitasnya terjaga sehingga betul-betul subsidinyq tepat sasaran," tutupnya 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: