Bidang Pengurus Pusat Pemuda Katolik Bidang Politik dan Kepemiluan menyelenggarakan seminar bertema, "Pileg, Pilpres, dan Pilkada 2024, Beragam Kepentingan Satu Tujuan".
Adapun seminar ini menghadirkan beberapa pembicara: Rahmat Santoso (Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri RI); Moch. Afifuddin (Anggota Bawaslu RI); Fritz Siregar (Anggota Bawaslu RI); Loly Suhenty (Anggota Bawaslu Prov. Jawa Barat); Engelbert Johannes Rohi (Wasekjen KIPP); dan Beny Wijayanto (Ketua Bidang Politik & Kepemiluan PP Pemuda Katolik).
Baca Juga: Empat Kali Pilpres Nggak Ada yang Ngelirik Kadernya, PKS "Curhat": Partai Lain Nggak Mau...
Rahmat Santoso mengungkapkan soal kesiapan pemerintah menghadapi Pemilu 2024. Menurutnya Pemilu adalah wahana perwujudan kedaulatan rakyat.
Guna menghasilkan pemerintahan dan lembaga perwakilan politik yang memiliki legitimasi kuat, Santoso menegaskan Pemilu harus didasarkan pada asas langsung, umum, bebas, dan rahasia, jujur, dan adil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Baca Juga: Makin Tak Terbendung untuk Pilpres 2024! Pesona Anies Baswedan Wow Banget, Pengamat Blak-blakan...
Berkaca dari Pemilu Tahun 2019, Santoso membeberkan terdapat 262 sengketa Pemilu di antaranya 1 sengketa Pilpres, 10 sengketa Pemilihan DPD, dan 251 sengketa Pemilihan DPR/DPRD.
Begitupun di tahuan 2020 terdapat 7 sengketa Pilkada Gubernur, 119 sengketa Pilkada Bupati, da 14 sengketa Pilkada Walikota.
"Berkaca dari situasi ini, rasanya ada sesuatu yang kurang yaitu pendidikan politik. Menyongsong Tahun Politik 2024, pemerintah merasa perlu adanya kegiatan pendidikan politik guna peningkatan literasi politik masyarakat secara massif dari pusat hingga daerah," ucapnya.
Sementara itu, Engelbert Rohi dan Moch. Afifuddin setuju tentang adanya pendidikan politik. Membaca data Pemilu 2019, keduanya sepakat bahwa Pemilu ini, rupanya tidak mendorong terciptanya pola relasi kuasa berimbang tersebut.
"Indikasinya 70 persen percakapan di ruang publik didominasi oleh Pilpres. Porsi Pileg hanya 30 persen saja. Pemilih yang mengenal nama-nama caleg di dapilnya hanya 25 persen. Artinya, motif di kepala setiap pemilih yang datang ke TPS lebih didominasi untuk memilih Presiden ketimbang memilih wakilnya di legislatif (apalagi di DPD), karena 75 persen tidak mengenali para caleg yang terpampang di surat suara Pileg," sebut Rohi.
Sejalan dengan ini, Afifuddin menambahkan adanya kultur yang tidak sehat lainnya, Parpol (caleg) tak hanya struggling atas dirinya sendiri, tapi juga harus memperjuangkan capres-cawapres dalam satu ruang dan moment yang bersamaan. "Pada zonasi di mana capres yang didukung tidak populer, maka caleg 'dipaksa' untuk inkonsisten dengan kebijakan parpol."
"Fokus amatan publik lebih kepada Pilpres daripada Pileg membuat potensi kecurangan lebih pada Pileg. Maka salah satu target pemerintah dalam Pemilu dan Pilkada 2024 adalah pendidikan politik dengan memanfaatkan ragam platform media sosial yang tersedia," sebut Afifuddin.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil