Meminta Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menggelontorkan uang Rp3,6 triliun untuk menyubsidi harga minyak goreng yang sedang gonjang-ganjing, menjadi kisah terkini 'penjajahan' kepada sawit.
'Penjajahan' yang sudah berlangsung cukup lama adalah menyedot duit sawit untuk menyubsidi pembuatan biodiesel. Konon, subsidi ini bukan hanya untuk kepentingan Public Service Obligation (PSO), tapi juga Non PSO (Non Subsidi).
Baca Juga: Akibat DMO dan DPO Minyak Goreng, Bagaimana Harga Sawit Kini?
Data BPDPKS menyebutkan, dari program biodisel hingga Desember 2021, sudah sekitar Rp110 triliun duit menggelontor ke pembuatan biodiesel itu. Pemerintah pun dapat untung dobel-dobel. Sudahlah tak mengeluarkan uang untuk biodiesel, bisa pula menghemat devisa impor solar sekitar Rp267 triliun.
Yang luar biasa lagi, ratusan triliun rupiah duit Bea Keluar (BK) yang selama ini dipungut pemerintah, tak tercoceng alias tak terganggu sedikit pun. Melenggang indah masuk ke kocek pemerintah. Kalau alasan memakai duit itu adalah Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan, PP nomor 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan serta Peraturan Presiden nomor 66 tahun 2018 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, memang sah-sah saja.
Namun, Sutrisno, kader PDI Perjuangan asal Majalengka Jawa Barat tegas-tegas berbicara bahwa pasal 11 ayat 1 Perpres 61 tahun 2015 menyebut, hanya lima pos yang boleh dialiri duit yang ada di kocek BPDPKS itu:
- Pengembangan Sumber Daya Manusia Perkebunan Kelapa Sawit (PKS);
- Penelitian dan Pengembangan PKS;
- Promosi PKS;
- Peremajaan PKS; dan
- Sarana dan Prasarana PKS
Ayat 2-nya, kata anggota Komisi IV DPR ini; penggunaan dana termasuk hasil sawit juga untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri perkebunan sawit, serta penyediaan bahan bakar nabati biodiesel.
"Yang ayat 2 ini cuma tambahan. Yang pokok itu ya yang di ayat 1 itu. Gimana kemampuan pekebun kelapa sawit rakyat meningkat biar ke depan menjadi korporasi. Itu yang sangat penting," urai bekas Bupati Majalengka dua periode ini, melansir Elaeis.co, Kamis (3/2/2022).
Masih dari data terbaru BPDPKS, sampai Desember 2021, begini rinciannya:
- Pengembangan SDM Rp204, 86 miliar;
- Penelitian dan Pengembangan Rp389,3 miliar;
- Promosi Rp323,14 miliar;
- PSR Rp6,59 Triliun;
- Sarana dan Prasarana Rp21,1 miliar.
Dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR 17 Januari 2022, Direktur Utama BPDPKS terang-terangan bilang, "Kalau saya punya kewenangan penuh, semua duit itu akan saya pakai untuk kepentingan sawit."
Pernyataan tersebut menyiratkan pesan bahwa BPDPKS tidak punya kewenangan penuh untuk mengelola dan memanfaatkan duit itu. Ada tujuh kementerian yang dikomandoi oleh Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, yang paling berwenang: Kementerian Pertanian, Keuangan, Perindustrian, Perdagangan, Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), BUMN, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Lalu, apa yang didapatkan oleh para pelaku sawit atas gelontoran duit yang sangat besar itu?
Di level petani: sampai sekarang mereka tidak tersentuh oleh yang namanya penyuluh perkebunan, pupuk bersubsidi, harga yang masuk akal, timbangan yang benar, dan sarana jalan dan angkutan yang memadai. Yang ada, mereka "dipaksa" mengurus Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), mengurus sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan ditakut-takuti dengan menyebut bahwa kebun sawit mereka berada di dalam kawasan hutan.
Sampai saat ini ada sekitar 2,6 juta hektare kebun sawit rakyat berada dalam klaim kawasan hutan itu. Kalau tak ditebangi, dijadikan perhutanan sosial. Begitulah ancaman yang ada. Gara-gara situasi dan kondisi inilah, program PSR yang digadang-gadang sebagai program prioritas Presiden Jokowi itu terbilang redup.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: