Media Asing Soroti Gelombang Omicron di Indonesia, Sindir Penggunaan Vaksin Sinovac?
Penggunaan vaksin Covid-19 dari Sinovac China dipertanyakan ketika Indonesia dilanda gelombang ketiga pandemi. Pasalnya, sederet penelitian menunjukkan kalau vaksin yang banyak digunakan di negeri ini tak cocok dengan varian Omicron.
Dilansir dari Al Jazeera, baru 45,9 persen dari target populasi Indonesia telah divaksin dosis lengkap, dibandingkan dengan rata-rata global 53,4 persen, menurut Our World in Data. Dari angka tersebut, 79 persen di antaranya menggunakan vaksin Sinovac, menurut Kementerian Kesehatan Indonesia.
Baca Juga: Jokowi Bikin Kerumunan Lagi saat Omicron Ngamuk, PKS Beri Kritik Menohok: Presiden Itu Harus...
Artikel Al Jazeera pada Senin (7/2) pun menyoroti semakin lambatnya laju vaksinasi sejak awal tahun lantaran banyak kabupaten dan provinsi menolakĀ vaksinasi jika tak menggunakan Sinovac. Situasi ini sontak meningkatkan kekhawatiran gelombang Omicron akan serupa dengan gelombang Delta yang menumbangkan sistem rumah sakit.
Padahal, 2 dosis Sinovac tak menghasilkan antibodi yang cukup untuk melawan Omicron, menurut temuan tim peneliti University of Hong Kong dan Chinese University of Hong Kong yang dipublikasikan pada bulan Desember.
Penelitian ini juga mengungkap bahwa Omicron mengurangi efektivitas secara drastis 2 dosis vaksin Pfizer-BioNTech yang menggunakan teknologi mRNA. Namun, penelitian ini juga menegaskan bahwa booster Pfizer diduga lebih efektif daripada dosis ketiga Sinovac.
Penelitian National Natural Science Foundation of China pun menunjukkan pengurangan drastis kemanjuran booster Sinopharm.
Serupa dengan Sinovac, vaksin Sinopharm merupakan vaksin tak aktif yang menggunakan partikel virus mati untuk mengekspose sistem kekebalan tubuh terhadap Covid-19. Penelitian ini diterbitkan dalam jurnal Emerging Microbes and Infections pada bulan Desember.
"Secara keseluruhan, penelitian kami menunjukkan kalau Omicron lebih mungkin lolos dari perlindungan kekebalan yang diinduksi vaksin dibandingkan dengan prototipe dan varian lain yang menjadi perhatian," bunyi kesimpulan tim penulis.
Tak sampai di situ, penelitian oleh Universitas Yale dan Kementerian Kesehatan Republik Dominika juga menunjukkan tak ada antibodi penetral di kalangan penerima 2 dosis suntikan Sinovac. Penelitian ini diterbitkan bulan lalu di jurnal Nature Medicine.
China sendiri kembali lockdown karena menghadapi jumlah infeksi tertinggi sejak awal pandemi. Negara itu juga buru-buru mengembangkan vaksin mRNA. Situasi itu sontak memperburuk kekhawatiran soal kemanjuran vaksin di negara berkembang, seperti Indonesia, yang bergantung pada vaksin China dan tak mampu menerapkan lockdown.
Kemudian, Singapura mengumumkan pada bulan Januari bahwa masyarakat yang telah disuntik vaksin China perlu disuntik booster mRNA agar bisa dianggap telah divaksin dosis lengkap.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: