Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Larangan Ekspor Seharusnya Dongkrak Harga TBS Petani Kelapa Sawit, Ini Kata Pengamat

Larangan Ekspor Seharusnya Dongkrak Harga TBS Petani Kelapa Sawit, Ini Kata Pengamat Kredit Foto: Antara/Makna Zaezar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah akhirnya memastikan bahwa mulai dini hari 28 April 2022, tiga produk ini resmi dilarang untuk diekspor. Larangan ini berlaku sampai harga minyak goreng kemasan benar-benar Rp14 ribu perliter dan gampang didapat dimana saja.  

"Kebijakan pelarangan ini berlaku untuk produk Crude Palm Oil (CPO), Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO), Refined, Bleached and Deodorized Palm (RBDP) Olein, dan Used Cooking Oil," rinci Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto malam ini.

Baca Juga: Larangan Ekspor CPO Bisa Saja Dicabut, Jokowi Akui Negara Butuh Pemasukan

Ketua Umum Partai Golkar ini kemudian mengutip kembali omongan Presiden Jokowi bahwa kebijakan itu dibikin demi kepentingan rakyat Indonesia. 

Saking pentingnya kebijakan ini, Menteri Perdagangan pun langsung membikin peraturan nomor 22 tahun 2022 yang intinya sama dengan yang dibilang Airlangga tadi. 

Lantas seperti apa sesungguhnya dampak kebijakan ini terhadap petani kelapa sawit. Sebab baru sebatas pengumuman saja Presiden Jokowi beberapa hari lalu, harga Tandan Buah Segar (TBS) petani sudah terjun bebas. Pabrik-pabrik kelapa sawit langsung menjatuhkan harga beli.   

Bagi Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, mestinya kebijakan yang dibikin oleh Presiden Jokowi itu tidak berdampak kepada petani kelapa sawit. 

Baca Juga: Larangan Ekspor Berlaku, Nicho: Makasih Pak Jokowi, Kebijakan Bapak Berhasil Hancurkan Petani Sawit

Dibilang begitu lantaran selama ini, produk CPO dalam negeri diolah di refinery dalam negeri juga. "Kapasitas refinery dalam negeri ini mencapai 54 juta ton per tahun. Sementara produk CPO kita hanya sekitar 51-52 juta ton," rinci lelaki 56 tahun ini kepada elaeis.co malam ini. 

Dari refinery inilah kemudian kata Tungkot bermunculan turunan-turunan CPO yang rutin diekspor. Itu artinya kata Tungkot, sebenarnya CPO dalam negeri, semuanya terserap dan harga jual CPO itu mengikuti mekanisme pasar  internasional. "Terus, apa alasan PKS menurunkan harga beli TBSnya dan bahkan menolak TBS petani?" dia bertanya. 

Hadirnya larangan ekspor tadi kata doktor ilmu ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, justru engak menjadi soal lantaran tidak semua produk minyak sawit yang selama ini sudah rutin diekspor kemudian dilarang ekspor. 

Baca Juga: Kekhawatiran Mereda, Harga Sawit Kembali Naik

"Dari 26 produk minyak sawit --- yang ada Harmonisasi Sistem (HS) Numbernya --- yang selama ini diekspor, hanya sekitar 3-4 produk yang dilarang ekspor. Yang lainnya bisa," ujar Tungkot.  

Kalau dihitung tonase kata Tungkot, hanya 12 juta ton total produksi minyak sawit yang dilarang diekspor. 

"Kalau total produksi CPO dan PKO kita katakanlah 52 juta ton. Sekitar 18 juta ton dipakai di dalam negeri. Dari 18 juta ton tadi, 12 juta ton untuk pangan (minyak goreng). Dari 12 juta ton itu, 6 juta ton dipakai langsung di dalam negeri, sisanya diekspor dalam bentuk RBDP Olein," lagi-lagi Tungkot merinci. 

Dengan adanya larangan ekspor tadi kata Tungkot, maka yang 6 juta ton yang selama ini diekspor, musti dipakai di dalam negeri, agar kebutuhan minyak goreng dalam negeri, aman. 

Baca Juga: Ada Kepentingan Politik di Kasus Ekspor Minyak Sawit? Ini Jawaban Jaksa Agung

"Tadi kan kebutuhan dalam negeri 18 juta ton. Berarti masih ada 34 juta ton lagi produk turunan yang bisa diolah untuk ekspor. Ini kan bagus. Kita olah dulu di dalam negeri untuk lebih bernilai jual, baru diekspor," ujarnya. 

Soal CPO yang dilarang ekspor tadi, Tungkot kemudian menyodorkan data bahwa tahun 2010 lalu, Indonesia memang mengekspor 80% minyak sawitnya dalam bentuk CPO. Tapi tahun lalu, CPO yang diekspor itu hanya 2,48 juta ton. "Hanya sekitar 7% dari total produk minyak sawit kita. Lagi-lagi saya bilang, enggak ada dampaknya larangan ekspor CPO itu kepada petani," tegasnya. 

Malaysia sendiri kata Tungkot sudah sangat lama tidak mengekspor CPO, sudah sejak tahun 1980. Ekspornya justru sudah minyak sawit turunan. Toh dengan begitu harga TBS di sana terus meroket dan lebih tinggi dari Indonesia.

Baca Juga: Adanya Penurunan Harga TBS Sawit Sepihak, Kementan Keluarkan Surat Edaran

"Saya menjelaskan ini agar semua paham dan petani tidak menjadi korban. Bahwa dengan adanya larangan ekspor ini, harga TBS petani mestinya semakin tinggi. Ini hukum pasar. Bahwa penetapan harga TBS bergantung pada harga internasional, bukan tergantung pada volume ekspor CPO. Kalau ekspor dilarang, permintaan pasar dunia akan meninggi dan ini akan memicu kenaikan harga," terangnya panjang lebar. 

Dengan begitu, tidak ada alasan pabrik pengolahan sawit untuk menurunkan harga TBS, apalagi tidak menerima atau mengurangi pembelian TBS. "Sebab lagi-lagi saya bilang, CPO mereka diolah di dalam negeri dan hasil refinery itu diekspor," Tungkot kembali menerangkan. 

Yang ketar-ketir saat ini kata Tungkot, justru importir dan Top Six perusahaan sawit Indonesia yang sebenarnya punya refinery juga di luar negeri. 

Baca Juga: Pengembangan Plasma Nutfah Lewat Kelapa Sawit, Simak!

"Saya bersaran kepada pemerintah khususnya satgas pangan, dalam situasi sekarang, apabila ada PKS yang menurunkan harga pembelian TBS dan apalagi menolak TBS petani, sebaiknya segera ditindak, bila perlu cabut izinnya. Pemerintah harus tegas terkait ini," pinta Tungkot.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Bagikan Artikel: