Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kemenangan Putra Diktator Filipina Sebagai Presiden Disambut Gegap Gempita, Bisa Merembet ke ASEAN?

Kemenangan Putra Diktator Filipina Sebagai Presiden Disambut Gegap Gempita, Bisa Merembet ke ASEAN? Kredit Foto: Reuters/Romeo Ranoco

Pendukung Bongbong menolak narasi diktator 

Ribuan penentang Marcos senior mengalami penganiayaan selama era darurat militer tahun 1972-1981 yang brutal, dan nama keluarga Marcos menjadi identik dengan penjarahan, kronisme, dan kehidupan mewah, setelah miliaran dolar kekayaan negara menghilang.

Namun, keluarga Marcos menyangkalnya – dan begitu juga banyak pemilih Filipina saat ini.

Baca Juga: Putra Diktator yang Jadi Presiden Filipina Minta Jangan Nilai dari Kasus Ayahnya

Faye Faustino hidup di bawah pemerintahan Marcos senior di Filipina, tetapi percaya bahwa masa itu adalah masa yang "sangat, sangat baik."

Dia mengatakan narasi seputar kediktatoran Marcos senior adalah propaganda.

“Media sosial sangat membantu dalam mencerahkan, atau membuka pola pikir masyarakat Filipina,” kata Faye.

Liz Ficnerski, yang adalah inisiator kelompok pendukung dari Melbourne untuk Bongbong Marcos dan Sara Duterte, setuju dengan pendapat itu.

"Saya tidak pernah berpikir bahwa Ferdinand Marcos adalah seorang diktator," kata pria berusia 55 tahun itu kepada ABC.

"Dia adalah tipe presiden yang telah berjasa untuk banyak hal bagi Filipina. Kami akan senang sosok itu kembali."

Sejarah ditulis ulang melalui penguasaan media

Vince de Guzman diajari di sekolah tentang dinasti politik Marcos yang terkenal kejam dan tidak dapat memahami bagaimana begitu banyak pendukung BBM, blogger, dan influencer media sosial mengatakan bahwa sejarah telah terdistorsi.

Dia mengatakan dia dan teman-temannya dapat berbagi informasi dan mengikuti situasi politik di tanah air melalui media sosial, tetapi iru seperti "pedang bermata dua."

"Keberadaan Bongbong Marcos sebagai kandidat presiden menunjukkan seberapa besar media sosial dapat berperan dalam hal ini," katanya.

"Orang-orang menerima fakta palsu bahwa era Marcos adalah masa yang paling jaya dan yang sebenarnya terjadi tidak begitu, maksudnya cerita begitu banyak orang dilukai dan disiksa, dan uang yang dicuri."

Aim Sinpeng, dosen senior di departemen pemerintahan dan hubungan internasional di University of Sydney, mengatakan ini bukan situasi yang unik bagi Filipina.

Di seluruh dunia, politisi telah menggunakan media sosial sebagai alat untuk membangun ulang citra diri mereka sendiri dengan memberikan informasi atau fakta alternatif, katanya.

"Ini adalah pemasaran politik yang cerdas sebagai bagian dari kampanye BBM dalam memanfaatkan media sosial untuk menulis ulang sejarah," kata Dr Sinpeng kepada ABC.

"Ada garis tipis antara rebranding dan menciptakan citra dan persona baru, dan menciptakan informasi alternatif yang melawan fakta."

Dia mengatakan yang membedakan pemilu kali ini dengan tahun 2016 adalah pergeseran ke platform seperti TikTok.

"Tik Tok penting karena ini adalah rumah bagi para amatir, bukan influencer profesional," katanya.

"Saya pikir pengaruh akar rumput semacam itu, yang jauh lebih sedikit dipantau daripada Facebook, telah memberi ruang bagi kampanye BBM untuk benar-benar tumbuh secara luas."

Filipina dikhawatirkan menghadapi kesenjangan yang lebih lebar

Marie Anne San Gabriel berbicara di acara "Paint Adelaide Pink Sunday" bulan lalu untuk mendukung Leni Robredo.

Gabriel mengatakan dia tidak hanya khawatir tentang korupsi, tetapi juga takut pemerintah Bongbong Marcos akan meninggalkan banyak orang Filipina.

Leni Robredo telah menjanjikan pemerintah yang fokus pada kaum terpinggirkan.

"Kandidat saya sudah membantu orang-orang dari daerah yang sangat miskin," kata Gabriel.

"Bagi banyak orang di Filipina, situasi mereka sangat kritis."

Walaupun ada spekulasi tentang kecurangan pemilu dan laporan mesin pemungutan suara yang rusak, Gabriel mengatakan sulit untuk menyangkal hasil perolehan suara Bongbong yang unggul telak.

Penghitungan tidak resmi menunjukkan Bongbong Marcos memiliki 31 juta suara, dua kali lipat dari Leni Robredo.

"Kami harus menerima kekalahan, itu hal yang paling bisa dengan  lapang dada dilakukan," kata Gabriel.

"Di Filipina, jika Anda kaya, Anda benar-benar kaya, tetapi jika Anda miskin, Anda sangat, sangat miskin," kata perempuan berusia 69 tahun itu.

"Saya hanya berdoa dan berharap kali ini situasinya akan berbeda ... mudah-mudahan, dia akan membuat Filipina jauh, jauh lebih baik daripada apa yang dilakukan ayahnya."

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: