Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ada G20 di Indonesia hingga APEC di Thailand, Netralitas ASEAN Diuji

Ada G20 di Indonesia hingga APEC di Thailand, Netralitas ASEAN Diuji Kredit Foto: AP Photo/Aijaz Rahi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kamboja yang memegang tampuk kepemimpinan ASEAN tahun ini, dijadwalkan November mendatang menjadi tuan rumah pertemuan puncak ASEAN dan negara-negara mitra dialog, yang antara lain Amerika Serikat dan Rusia.

Pada waktu yang berdekatan, Indonesia yang memegang presidensi G-20, juga akan menggelar pertemuan puncak G-20 yang melibatkan AS dan Rusia. Selanjutnya, Thailand juga menjadi tuan rumah bagi pertemuan Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang juga melibatkan AS dan Rusia.

Baca Juga: Sering Bermasalah di LCS, China Malah Sindir Pertemuan Amerika-ASEAN

Di akhir pertemuan puncak Amerika Serikat dan Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), Presiden AS Joe Biden menegaskan pertemuan yang digelar selama dua hari itu menandai dimulainya era baru hubungan AS dan ASEAN.

Hubungan AS dan sepuluh negara di Asia Tenggara secara tegas dinyatakan tidak lagi sebatas 'kemitraan strategis', tapi ditingkatkan menjadi 'kemitraan strategis komprehensif'.

Biden melihat sejarah dunia di masa depan akan berada di negara-negara Asia Tenggara, dan hubungan negara-negara di kawasan dengan AS adalah bagian dari masa depan itu. Pernyataan tersebut diperkuat pernyataan Wakil Presiden AS, Kamala Haris, yang menegaskan AS akan bersama-sama negara-negara di kawasan menjaga norma serta aturan main internasional.

Pemerintahan Biden pun menjanjikan bantuan senilai 150 juta dolar AS untuk sektor-sektor infrasruktur, keamanan, kesiapan pandemi, dan energi terbarukan.

Pernyataan-pernyataan penuh pujian, bahkan komitmen bantuan, terhadap ASEAN tersebut ternyata tak mampu menjadikan negara-negara di kawasan sepenuhnya berpihak pada AS soal perang Rusia dan Ukraina.

Meski sejak awal diprediksi Biden bakal mendesak ASEAN untuk mengambil sikap lebih tegas terhadap Rusia, sebagai upaya memperluas koalisi menentang Rusia, namun itu tidak terjadi. Bahkan, dilansir VoaNews, dalam sambutannya, Biden sama sekali tidak menyinggung soal invasi ke Ukraina.

Dalam pernyataan bersama usai pertemuan, hanya disebutkan afirmasi untuk menghormati kedaulatan, independensi politik, dan integritas teritori. Juga upaya untuk segera menghentikan konflik dengan mengacu pada hukum internasional dan Piagam PBB.

Stacie Goddard, pakar politik di Wellesley College, melihat sikap tersebut lebih mengindikasikan bagaimana AS memahami ASEAN sebagai mitra vital terkait rivalitas dengan Cina.

"AS tidak ingin merusak hubungan ini dengan mengeluarkan pernyataan  terkait agresi Rusia," jelasnya.

Pandangan berbeda dilontarkan Perdana Menteri Malaysia, Ismail Sabri Yaakob. Dikutip Bernama, Ismail mengatakan selama pertemuan, pemimpin ASEAN menunjukan sikap bersama yang kuat dalam beberapa isu internasional termasuk isu Rusia-Ukraina.

ASEAN berharap krisis Rusia-Ukraina dapat diselesaikan melalui meja perundingan. Dalam konteks ini, AS dengan pengaruh besarnya diharapkan mampu mendorong penyelesaian krisis tersebut secara damai.

Gregory Poling, pakar Asia Tenggara di lembaga think thank Center for Strategic and International Studies, menilai pertemuan puncak AS-ASEAN itu dipenuhi simbolisme. "Simbolisme itu memang penting, tapi tidak akan membawa banyak perubahan secara konkret," ujarnya dilansir Reuters.

Poling menduga pembicaraan terkait tekanan-tekanan AS terhadap ASEAN terkait krisis Rusia-Ukraina tidak diungkap pada publik. Poling menunjuk masuknya krisis Rusia-Ukraina dalam agenda pertemuan tapi tidak dipublikasikan.

"AS jelas tidak ingin mengundang pemimpin ASEAN yang terbang separuh dunia ke Washington dan membuat mereka merasa tidak nyaman," urainya. Pernyataan bersama soal Ukraina yang mengafirmasi 'kedaulatan, independensi politik, dan integritas teritori' suatu negara, merupakan indikasi tegas mengecam aksi Rusia.

Situasi tersebut mirip dengan sikap terkait konflik di Laut China Selatan serta rivalitas AS dan China. Dalam konteks ini, negara-negara di Asia Tenggara bersikap lebih berhati-hati agar tidak terjerumus pada keberpihakan. Apalagi, sebagian besar negara di kawasan memiliki hubungan ekonomi kuat dengan Cina.

Terkait aksi Rusia, perbedaan sikap negara-negara di kawasan tercermin pula dalam voting untuk menentang dan mengecam Rusia di PBB awal Maret lalu. Vietnam dan Laos, yang memiliki hubungan erat dengan Rusia, bersikap abstain, sementara negara lain di kawasan mendukung kecaman terhadap Rusia.

Baca Juga: Dalam Beberapa Dekade, China Adalah Sumber Destabilisasi di Laut China Selatan

Ujian

Sikap masing-masing negara Asia Tenggara secara individu, boleh jadi berbeda terhadap krisis Rusia-Ukraina. Namun, ditegaskan Ismail, solidaritas ASEAN dalam pertemuan dengan AS pekan lalu, sangat menonjol.

"Prinsip-prinsip ASEAN terkait kawasan damai, bebas, dan netral tersampaikan dengan baik selama pembicaraan dengan Biden," jelasnya.

Dalam pertemuan puncak AS-ASEAN itu, negara-negara di kawasan memang cukup kuat berpegang pada prinsip-prinsip ASEAN. Hanya saja, tidak lantas berarti ujian berupa tekanan-tekanan dari Barat, khususnya AS, terhenti begitu saja.

Sepanjang tahun ini saja, setidaknya sebagian negara ASEAN harus kembali menghadapi ujian serupa, khususnya terkait isu Rusia-Ukraina, terutama Kamboja, Indonesia, dan Thailand.

Kamboja, yang memegang tampuk kepemimpinan ASEAN tahun ini, dijadwalkan November mendatang menjadi tuan rumah pertemuan puncak ASEAN dan negara-negara mitra dialog, yang antara lain AS dan Rusia.

Pada waktu yang berdekatan, Indonesia yang memegang presidensi G20, juga akan menggelar pertemuan puncak G-20 yang melibatkan AS dan Rusia. Selanjutnya, Thailand juga menjadi tuan rumah bagi pertemuan Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), yang juga melibatkan AS dan Rusia.

Dalam pertemuan-pertemuan tersebut sulit dipungkiri adanya tekanan dari negara-negara Barat agar negara-negara di kawasan 'menjauhi' dan tidak mengundang Rusia.

Dalam pertemuan-pertemuan tersebut sulit dipungkiri adanya tekanan dari negara-negara Barat agar negara-negara di kawasan 'menjauhi' dan tidak mengundang Rusia. Indonesia misalnya, sudah mendapat ancaman dari AS untuk tidak menghadiri pertemuan puncak G20 jika mengundang Rusia.

Menghadapi ancaman ini, Presiden Indonesia Joko Widodo, tetap mengundang Rusia dan juga mengundang Ukraina meski bukan anggota G20. Upaya ini jelas membuka peluang mencapai solusi secara damai. Tekanan-tekanan seperti itu bukan tak mungkin dialami pula Kamboja dan Thailand.

Meski tidak seluruhnya negara-negara ASEAN tercakup dalam pertemuan-pertemuan itu, namun tetap penting bagi Kamboja, Indonesia, dan Thailand, sebagai tuan rumah mengambil sikap sesuai dengan prinsip-prinsip ASEAN sebagai satu kesatuan.

Dalam konteks ini, agaknya, ketiga negara tersebut sudah jauh-jauh hari mengantisipasi, dengan membuat dan mempublikasikan pernyataan bersama, awal bulan ini.

Selain menjelaskan pentingnya masing-masing pertemuan tersebut, Kamboja, Indonesia, dan Thailand, juga menegaskan bakal mengedepankan sentralitas, kredibilitas, dan relevansi ASEAN dalam menjaga perdamaian regional dan global.

Baca Juga: Ada Kesepakatan Positif Antara Amerika dan ASEAN, Begini Respons China...

Terkait itu, sebagai tuan rumah pertemuan, pernyataan bersama Kamboja, Indonesia, dan Thailand, tersebut secara gamblang menyatakan akan tetap bekerja sama dengan semua negara terlibat. Pernyataan ini mengindikasikan ketiga negara tetap berupaya melibatkan Rusia dalam semua pertemuan yang digelar. 

Tekanan-tekanan terhadap ketiga negara tersebut untuk 'menjauhi' Rusia, hampir pasti terus dilakukan. Namun, tidak tertutup pula kemungkin tekanan, terutama dari AS, bisa melunak. Kamboja, Indonesia, dan Thailand sudah mengecam Rusia lewat forum PBB, dan ini sejalan dengan sikap AS.

Selain itu, AS sendiri memiliki kepentingan di Asia Tenggara. Dalam upaya mengimbangi kekuatan pengaruh Cina di kawasan, AS sedang gencar-gencarnya mengusung konsep Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF), yang disebut-sebut untuk menghambat pengaruh Cina di kawasan. Guna mengimplementasikan kerangka tersebut, AS membutuhkan kemitraan dengan ASEAN.

Apapun, dalam konteks krisis Rusia-Ukraina, tekanan dari AS dan negara-negara Barat lain, merupakan ujian bagi sentralitas dan netralitas ASEAN. Kebersamaan sikap yang ditunjukkan negara-negara di kawasan dalam pertemuan dengan pemerintahan Biden, merupakan modal penting dalam menghadapi ujian tersebut. Bukan hanya terkait isu Rusia-Ukraina, tapi juga isu internal ASEAN seperti Myanmar, serta isu terkait rivalitas AS-Cina. 

Di lain pihak, guna merealisasikan keinginan untuk kembali menanamkan pengaruh di kawasan, setelah diabaikan di masa pemerintahan Donald Trump, AS perlu mengubah pendekatan. Pemerintahan Biden perlu mengutamakan pendekatan yang lebih mendukung ketimbang mendikte negara-negara berkembang di kawasan.

Apalagi, pertemuan Biden dengan pemimpin ASEAN pekan lalu, membuktikan framing perang global demokrasi versus otokrasi, kurang mendapat perhatian di Asia Tenggara. Sudah saatnya bagi AS untuk mengutamakan pendekatan di kawasan dengan strategi geo-ekonomi ketimbang upaya 'menyingkirkan' negara lain secara geopolitik.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: