Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Hina Martabat Presiden Bisa Masuk Delik Aduan, Wamenkumham: Kami Tambahkan Pengaduan Tertulis

Hina Martabat Presiden Bisa Masuk Delik Aduan, Wamenkumham: Kami Tambahkan Pengaduan Tertulis Kredit Foto: Antara/Biro Pers Sekretariat Presiden
Warta Ekonomi, Jakarta -

Melakukan penyerangan atau menghina martabat Presiden dan Wakil Presiden saat ini bisa masuk delik aduan. Hal tersebut diungkapkan secara langsung oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward O.S. Hiariej.

Edward mengatakan bila penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden berubah dari delik biasa menjadi delik aduan dalam RUU KUHP.

"Dalam Pasal 218, kami memberikan penjelasan bahwa ini adalah perubahan dari delik yang bersifat aduan, yang sebelumnya delik biasa," kata Edward, Rabu (25/5/2022).

Baca Juga: Cerita Sukses SBY Jadi Presiden Bisa Ditiru Anies

Penjelasan itu terjadi dalam rapat dengar pendapat antara Kemenkumham dan Komisi III DPR itu merupakan tindak lanjut pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Dalam hal ini, Edward menambahkan Pemerintah sama sekali tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

"Ini justru berbeda dan kami menambahkan pengaduan dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden," jelasnya.

Dalam pasal itu juga diberikan pengecualian untuk tidak dituntut apabila menyangkut kepentingan umum.

Baca Juga: Presiden Jokowi: Saya Akan Paparkan Semuanya Nanti

Dia juga menjelaskan bahwa Pemerintah telah melakukan sosialisasi RUU KUHP di 2021, di mana hasilnya ialah Pemerintah melakukan penyempurnaan dengan melakukan reformulasi dan memberikan penjelasan terhadap pasal-pasal kontroversi, berdasarkan masukan dari berbagai unsur masyarakat dan K/L.

Sebelumnya, Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam KUHP.

Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ayu Almas

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: