Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ketum KNIP Beri Catatan Bahaya Ketimpangan Rasio Orang Kaya, Menko Perekonomian Jadi Sorotan

Ketum KNIP Beri Catatan Bahaya Ketimpangan Rasio Orang Kaya, Menko Perekonomian Jadi Sorotan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI), Haris Pertama. | Kredit Foto: Okezone
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kinerja pemerintahan bidang perekonomian banyak sorotan publik terkait kinerja yang buruk, hal ini perlu gebrakan Presiden Joko Widodo dalam menyikapi kinerja buruk tersebut dengan langkah strategis melalui perombakan kabinet. Hal tersebut disampaikan oleh Haris Pertama Ketua Umum terpilih DPP KNPI periode 2022-2025.

Haris Pertama setidaknya ada beberapa catatan evaluasi pemerintahan bidang perekonomian terkait bahaya ketimpangan rasio orang kaya hingga masalah buruknya kinerja Menteri bidang perekonomian.

“Pertama, terdapat ketimpangan yang terus meningkat selama kurun waktu 2019 hingga saat ini yang sudah sangat membahayakan karena jumlah orang kaya yang terus meningkat. Sementara orang yang menjadi pengangguran baru meningkat,” Ucap Haris.

Lebih lanjut Haris menjelaskan ketimpangan tersebut tidak hanya karena pandemi Covid-19, melainkan karena juga kebijakan-kebijakan yang dibuat Menteri bidang ekonomi yang buruk seperti, kebijakan perlindungan sosial yang terlambat diberikan selama pandemi juga sangat mempengaruhi.

"Tercatat, jumlah orang kaya baru naik 65 ribu, tingkat gini rasio khususnya di perkotaan mencapai 0,4", jelas Haris.

Menurutnya ketimpangan ini adalah suatu hal yang harus diwaspadai, sebab ketimpangan yang terlalu melebar akan sangat mengganggu stabilitas ekonomi dan politik dalam waktu yang cukup panjang.

"Kedua, mengenai pertumbuhan ekonomi semasa pandemi tidak solid. Sebab pada Kuartal II 2021 pemerintah terlalu terburu-buru melakukan pelonggaran ekonomi, sehingga pada kuartal II ekonominya tumbuh 7,07%, kemudian setelah itu muncul gelombang ke 2 penularan Covid-19 yang mengakibatkan penularan Covid-19 kembali meningkat", papar Haris.

Haris pun membeberkan kelemahan mendasar dari kinerja buruk pemerintahan bidang perekonomian, mengenai koordinasi kebijakan ekonomi yang tidak jelas.

"Seharusnya peran-peran yang diisi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian malah dikerjakan oleh kementerian lainnya. Sementara Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) malah dialihtangankan oleh Kemenko Perekonomian bukan di bidang yang terkait dengan kesehatan, sehingga terdapat koordinasi yang tidak jelas", jelas Haris.

Ketiga, kelemahan Kemenko bidang perekonomian sangat lemah dalam mengelola dana penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

"Jika kita merujuk pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) terhadap penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (KPCPEN) terdapat borok yang luar biasa dengan temuan BPK RI selisih dana KC yang mencapai Rp146,69 triliun, ini semua uang rakyat loh harus dipertanggungjawabkan", beber Haris.

Lebih lanjut Haris menjelaskan, persoalan temuan BPK ini berakar dari adanya 887 kelemahan pada sistem pengendalian internal, 715 ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, dan 1.241 permalahan ekonomi yang mencakup efisiensi dan efektivitas.

"Dalam pemeriksaan PC-PEN tersebut, BPK mengidentifikasi sejumlah masalah terkait serta realisasinya, kemudian pertanggungjawaban, pelaporan PC-PEN, dan manajemen program kegiatan pandemi. Nah loh, ini menteri nya kerja atau tidur? Atau hanya sibuk nyapres 2024?" kata Haris.

Keempat, masalah kebijakan kartu Pra Kerja yang tidak tepat sasaran dan rawan penyimpangan.

"Implementasi kebijakan kartu pra-kerja banyak masalah, dari sistem pendaftaran yang tidak tepat sasaran, berikutnya fitur face recognition untuk kepentingan pengenalan peserta dengan anggaran Rp 30,8 miliar tidak efisien. Harusnya cukup dengan data NIK KTP, kan NIK sudah terintegrasi dengan data kependudukan lainnya", ujar Haris.

Sorotan aspek lainnya adalah pelaksanaan metode program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara karena metode pelatihan hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme kontrol atas penyelesaian pelatihan yang baik.

"Ada dua faktor yang menjadi alasan program pelatihan berpotensi fiktif. Pertama, lembaga Pelatihan sudah menerbitkan sertifikat meskipun peserta belum menyelesaikan keseluruhan paket pelatihan yang telah dipilih. Kedua, peserta sudah mendapatkan insentif meskipun belum menyelesaikan seluruh pelatihan yang sudah dibeli, sehingga negara tetap membayar pelatihan yang tidak diikuti oleh peserta," ujar Haris.

Kelima, adalah persoalan kelangkaan minyak goreng dan kebijakan larangan ekspor CPO yang berimbas pada keresahan masyarakat, petani sawit maupun sektor swasta akibat lemahnya kebijakan yang dikeluarkan oleh jajaran kementerian bidang perekonomian menambah carut marut perekonomian dan politik nasional.

"Larangan ekspor CPO malah menimbulkan masalah baru yaitu tidak terserapnya produksi tandan buah segar (TBS) petani sawit", kata Haris.

Ketika sudah ada larangan ekspor kemudian keuntungan perusahaan kelapa sawit jauh berkurang, maka berdampak ke petani, dimana pembelian TBS ditekan untuk mengatasi masalah profit perusahaan.

"Menteri jajaran bidang perekonomian khususnya Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan sejak awal tidak memiliki pemahaman komprehensif dari rantasi pasok (supply chain) sawit. Hal ini terlihat dari dampak kebijakan larangan eskpor CPO kepada petani sawit yang tidak diantisipasi. Situasi ini akan membuat kolaps industri sawit dan yang paling menjerit pasti petani”, jelas Haris.

Berdasarkan kelima alasan tersebut, Presiden sepatutnya memberikan kartu merah terhadap jajaran menteri bidang perekonomian, terutama Menko nya, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustriannya. Jika tidak, ini akan memperburuk kondisi ekonomi nasional, terlebih sudah menjelang tahun politik 2024.

"Presiden layak berikan kartu merah kepada Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian dengan kinerja buruk", tutup Haris.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: