Iswadi, menambahkan poros ini juga bersifat fleksibel, cair dan bergerak dinamis, karena selain pada variabel-variabel penting lain seperti sumber daya logistik dan infrastruktur partai dalam menghadapi pemilu.
"KIB juga terbuka untuk partai mana pun yang ingin bergabung," ujatnya.
Ia juga menambahkan dengan tingginya angka presidential threshold (20% kursi atau 25% suara sah nasional), setidaknya akan ada tiga poros utama dalam candidacy Pilpres ke depan.
"Poros pertama PDIP yang memegang supremasi elektoral dua kali pemilu berturut-turut (Pemilu 2014 dan 2019). Sebagai the rulling party yang mengendalikan jalannya kekuasaan, PDIP tentu berkepentingan untuk memenangkan kembali Pilpres 2024. Dengan modal 128 kursi parlemen (DPR RI), PDIP sudah cukup mengusung Capres tanpa koalisi," ujarnya.
Lanjutnya sedangkan poros kedua atau kunci utama, (Koalisi Indonesia Bersatu) Partai Golkar, PPP dan PAN malah sudah berjalan, Koalisi Indonesia Bersatu ini diperkirakan akan terus bertambah dengan partai-partai papan tengah.
"Sebagai pemenang pemilu dengan jumlah kursi terbesar kedua setelah PDIP, Golkar tak akan absen dari pertarungan Calon Presiden karena Sejauh ini, dukungan terhadap Ketua Umum, Airlangga Hartarto sebagai Calon Presiden sangat bergemuruh baik di internal Partai Golkar maupun di kalangan masyarakat," Kata dia
Bahkan Di poros ketiga, akan ada bayang-bayang Gerindra untuk tetap mengusung Ketua Umumnya, Prabowo Subianto sebagai Capres. Dalam konteks ini, Gerindra tetap membutuhkan teman koalisi untuk memenuhi syarat formal pencalonan.
"Akademisi yang juga politisi muda ini mengatakan Ekspektasi atas lahirnya tiga poros tersebut tentu didasarkan pada pengalaman buruk Pilpres 2019 yang hanya menghadirkan dua poros utama sehingga menyebabkan terjadinya gejala divided society," tambah Iswadi
Saat itu, segmentasi masyarakat menjadi makin terpolarisasi ke dalam dua kutub yang berseberangan secara diametral, yakni pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin dan pendukung Prabowo-Sandi. Kondisi ini cukup menguras energi dan menghadirkan ketegangan politik tinggi.
"Meskipun sudah bergabungnya Gerindra ke dalam pemerintah. Pembelahan antarkubu cebong dan kampret, juga belum berhenti meski Prabowo dan Sandi kini telah menjadi menteri Presiden Jokowi," ungkap Iswadi.
Alumni Institut Perguruan Darul Aman Malaysia ini menambahkanm yang penting menjadi catatan, calon-calon yang berasal dari partai politik baik dalam kapasitasnya sebagai ketua umum maupun elite partai lebih berpeluang mendapatkan tiket pencalonan mengingat otoritas tunggal partai politik sebagai pemegang kendali pencapresan. Sebab pintu pencalonan tetap menjadi domain dan wewenang partai politik.
"Bisa saja, nama-nama yang beredar dengan elektabilitas tinggi, tidak bisa melenggang mulus dalam medan pertarungan karena tidak mendapatkan dukungan partai-partai politik," demikian Iswadi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil