Ombudsman menyampaikan enam poin saran untuk perbaikan reforma agrarian dalam penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah.
Anggota Ombudsman Dadan S Suharmawijaya mengungkapkan pihaknya menemukan sejumlah potensi maladministrasi dalam penyelesaian konflik dan redistribusi tanah yaitu penundaan berlarut, tidak memberikan pelayanan dan penyalahgunaan wewenang.
"Karenanya perlu perbaikan kebijakan penyelesaian konflik agraria," Kata Dadan. Pertama kata dia perlunya merevisi Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria guna memperkuat substansi penyelesaian konflik agrarian di tanah air.
“Regulasi penyelesaian konflik agraria tidak komprehensif. Perpres Nomor 86 Tahun 2018 diatur dengan Peraturan Menteri. Namun Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan tidak secara spesifik diterbitkan dalam kerangka Reforma Agraria," terang Dadan.
Kedua, Ombudsman menemukan belum adanya skema layanan administrasi dalam penentuan subjek dan objek pada Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Dadan menyampaikan tidak ditemukan regulasi mengenai kriteria pihak-pihak yang dapat mengusulkan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA), termasuk syarat kondisi objek TORA.
Ketiga, belum optimalnya penyelesaian konflik agraria terkait aset negara, aset BUMN/ kekayaan negara yang dipisahkan dan Kawasan Hutan. Keempat, terbatasnya kewenangan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dalam Penyelesaian Konflik Agraria.
Baca Juga: Emiten Sawit Ini Menebar Dividen Segede Rp847 Miliar
Kelima, belum adanya resolusi konflik dalam bingkai Reforma Agraria. Dan keenam lemahnya koordinasi antar instansi dan ketujuh penyelesaian konflik belum menjadi indikator keberhasilan Reforma Agraria
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Boyke P. Siregar
Tag Terkait: