Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Harga Pupuk Tinggi, Apa Penyebabnya?

Harga Pupuk Tinggi, Apa Penyebabnya? Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tingginya harga pupuk tidak hanya membebani petani, tetapi juga turut dikeluhkan oleh produsen pupuk karena akan menambah modal kerja (cashflow).

Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama PT Saraswati Anugerah Makmur Tbk, Yahya Taufik Alhabsyi dalam webinar Ngobrol Bareng GAPKI dengan tema "Pupuk & Pemupukan: Outlook Harga Pupuk & Strategi Menghadapinya" pada Selasa (5/7).

Baca Juga: Pupuk Indonesia Sebut Program Makmur Tingkatkan Produktivitas dan Pendapatan Petani Tebu Kediri

"Accept harga pupuk juga tentu diterima oleh calon konsumen," ujarnya, dilansir dari laman Majalah Sawit Indonesia pada Kamis (7/7). 

Dijelaskan Yahya, tingginya harga pupuk nasional tidak terlepas dari harga pupuk internasional karena pupuk juga menjadi komoditas internasional. Terdapat tujuh faktor yang menyebabkan kenaikan harga pupuk.

Pertama, kenaikan harga minyak bumi. Minyak bumi berkaitan erat dengan unsur hara pupuk yang paling utama digunakan, yakni terdiri dari N (Nitrogen), P (fosfor), dan K (Kalium). Sementara, untuk unsur hara makro sekunder seperti P (fosfor) dan K (Kalium) tergantung pada minyak bumi terutama bahan-bahan dari bahan tambang dan biaya logistik yang dikeluarkan. 

Kedua, harga gas alam. Harga gas alam tergantung pada produksi urea karena bahan baku unsur N (nitrogen) tersebut sangat terpengaruh dengan gas alam. Ketiga, kurs Dollar. Sebagian hampir 60 persen bahan baku untuk pupuk, yaitu P (fosfor) dan K (kalium) masih impor. Meskipun dari 2020-2022 kurs rupiah terhadap dolar relatif stabil, kecuali belakangan ini yang akan menyentuh angka Rp15.000.

Keempat, supply dan demand pupuk. Misalnya, pada saat musim tanam di beberapa negara besar seperti China, India, Indonesia, serta Brasil, ada kecenderungan harga pupuk akan naik. Kelima, geopolitik perdagangan. Geopolitik ini sangat kental diterapkan di China, yakni berupa Tax Window. Pada musim tanam, karena kebutuhan pupuk tinggi, mereka menerapkan pajak untuk ekspor. Padahal, Indonesia melakukan importasi terutama bahan baku yang berbasis P (fosfat) baik TSP atau DAP, dan MAP sebagian besar impor dari China. 

Keenam, kasuistik anomali. Misalnya pandemi menyebabkan perubahan harga. Kenaikan harga pupuk sejak awal pandemi Covid-19 ditambah dengan adanya perang Rusia-Ukraina. Hal ini menyebabkan perubahan harga pupuk internasional yang berdampak pada harga pupuk nasional. 

"Kita produsen pupuk sebenarnya tidak suka dengan fluktuasi harga karena menyebabkan modal kerja yang besar dan suplai bahan baku misalnya Photas yang dulunya 30–40 hari bisa tiba di Indonesia, sekarang bisa mencapai 60–90 hari," kata Yahya. 

Ketujuh, harga pupuk internasional. Harga pupuk internasional naik sejalan dengan naiknya harga minyak bumi dan gas alam.

"Namun, kita masih bersyukur karena BUMN utamanya Pupuk Indonesia, pada saat akhir tahun dan Februari lalu (pecah perang), harga urea mencapai US$1.000/ton, walaupun Pupuk Indonesia ekspor dengan harga US$900/ton, tetapi harga di dalam negeri masih dibatasi di harga US$700/ton," kata Yahya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: