Pemerintah resmi menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk mengurangi beban berat keuangan negara akibat subsidi energi yang terus membengkak. Seperti diketahui, saat ini subsidi BBM kurang lebih mencapai Rp502,4 triliun atau menghabiskan sekitar 25% APBN 2022.
Kenaikan harga BBM diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi, Sabtu (3/9) kemarin. Tiga jenis BBM yang mengalami kenaikan yaitu Pertalite dari Rp7.650 per liter menjadi Rp1.000 per liter. Solar subsidi dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter dan Pertamax dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter.
Presiden Jokowi mengungkapkan, berdasarkan penghitungan pemerintah kenaikan harga BBM ini akan menambah inflasi sebesar 1,8 persen. Kendati begitu, presiden mengatakan memastikan pemerintah terus melakukan tindakan baik ditingkat pusat maupun daerah untuk mengendalikan inflasi.
Baca Juga: Jokowi Nilai Kadin Indonesia Berperan Besar dalam Menentukan dan Mengerahkan Potensi Dunia Usaha
Terkait kenaikan harga BBM ini, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Arsjad Rasjid menilai kondisi perekonomian global, termasuk Indonesia sedang dalam masa pemulihan dan trennya terus membaik serta mengarah pada pertumbuhan. Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, seperti risiko resesi global, inflasi energi dan juga pangan dikarenakan daripada Perang Rusia-Ukraina.
“Kondisi ini yang membuat kita juga harus memiliki strategi, termasuk dalam persoalan fiskal. Dalam kondisi pemulihan dan ancaman resesi global, ruang fiskal kita butuh keleluasaan untuk bergerak lincah menjaga keseimbangan keuangan negara dan dorongan agar ekonomi tetap tumbuh. Jika ruang fiskal kita sempit akibat keuangan negara habis untuk subsidi BBM, sektor prioritas lainnya seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, pangan dan lainnya akan terkena imbas,” kata Arsjad Rasjid, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Kolaborasi Kadin DKI Jakarta dengan Netzme Dorong Digitalisasi UMKM
Mengenai adanya kenaikan inflasi seperti yang dikatakan Presiden Jokowi, Arsjad meminta pemerintah segera mengambil langkah strategis dan mitigasi terkait inflasi dan belajar dari kenaikan BBM yang lalu-lalu. Berdasarkan data BPS, dampak kenaikan harga BBM pada 2005 mendorong inflasi mencapai 17 persen. Sementara itu, saat kenaikan harga BBM pada 2013 besaran inflasi 8,38 persen dan pada 2014 sebesar 8,36 persen.
“Saat ini subsidi kita menghabiskan sekitar 25% APBN 2022. Ini angka yang sangat besar. Persoalannya, sekitar 70% subsidi BBM ini dinikmati oleh kelompok yang mampu. Hal ini memperlihatkan subsidi BBM tidak tepat sasaran. Padahal tujuan utama dari alokasi subsidi adalah untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat pada golongan pra-sejahtera,” jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri