Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan aturan pajak e-commerce belum akan disahkan atau diterapkan dalam waktu dekat ini. Pasalnya terdapat sejumlah tantangan dan pematangan regulasi secara mendalam.
Kasubdit Peraturan PPN dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Bonarsius Sipayung, mengatakan, Pihaknya pun berjanji untuk membuka diskusi dan pembahasan kepada seluruh pelaku UMKM dan para pelaku e-commerce terkait kebijakan kedepannya.
Namun demikian, bila kebijakan ini resmi disahkan, dirinya memastikan bahwa kebijakan ini tidak akan mengganggu kinerja dari e-commerce dan juga pelaku usaha. Dirinya juga memastikan, tanggung jawab pembayaran PPN dan PPH masih akan tetap sama dibebankan oleh wajib pajak atau penjual dan pembeli, bukan marketplace.
“Ketika pasal baru muncul bagaimana status PKP dengan kewajibannya? Kewajiban para merchant PKP tetap normal, sesuai ketentuan. Saat jual barang dia wajib memungut PPN ditandai dengan memungut faktur,” kata Bonar dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, kemarin. Baca Juga: Marketplace Dinilai Tak Punya Kapasitas jadi Pemungut Pajak
Sebelumnya dirinya juga mengatakan, terdapat tantangan tersendiri untuk mengatur pelaku UMKM di dalam e-commerce. Karena mereka tidak diketahui secara pasti lokasi penjualannya. Sehingga diperlukan regulasi yang adil antara pelaku usaha online dan offline.
Menurutnya, untuk menerapkan aturan tersebut banyak aspek yang perlu dipikirkan kembali. Namun, ketika dikaitkan dengan Pasal 32A UU KUP, harus dipertimbangkan juga terkait eksistensi assessment dan compliance cost yang akan timbul. "Akan kebayang ribet untuk marketplace bagi sesuatu yang tidak kita kontrol," kata Bonarsius.
Sementara itu, Peneliti dari Indonesian Center for Tax Law/ICTL Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Adrianto Dwi Nugroho menilai, penunjukan pihak tertentu sebagai pemungut pajak akan melemahkan self assessment system yang dianut. Sebab, kewajiban pelaporan dan penyetoran pajak oleh seorang wajib pajak atau PKP, misalnya pelaku usaha yang memperoleh laba usaha pada penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri, justru dialihkan kepada pihak lain.
"Menurut kami untuk marketplace ini sementara dianggap tidak mempunyai kapasitas. Karena dia hanya menjadi intermedia dalam suatu transaksi, dia tidak mengetahui status si seller sudah memenuhi syarat atau tidak," kata Adrianto.
Untuk diketahui, sesuai PMK nomor 60 tahun 2022 yang merupakan turunan dari Undang-Undang No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), perusahaan penyelenggara PMSE yang ditunjuk sebagai pemungut PPN wajib memungut PPN dengan tarif 11 persen atas produk luar negeri yang dijualnya di Indonesia. Pajak ini wajib dipungut perusahaan yang memiliki nilai transaksi melebihi Rp600 juta setahun atau Rp50 juta sebulan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman