Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Siasati Masalah Disrupsi Food Suply Chain, Jababeka Dorong Kerjasama Konkret dengan Australia

Siasati Masalah Disrupsi Food Suply Chain, Jababeka Dorong Kerjasama Konkret dengan Australia Kredit Foto: Ist
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) merupakan sebuah bentuk kerja sama di bidang ekonomi antara Indonesia dan Australia. Dengan hadirnya IA-CEPA kini, Indonesia dan Australia semakin mudah bekerja sama dalam meningkatkan aktivitas ekonomi masing-masing negara.

Dalam masalah disrupsi supply chain produk pertanian akibat pemanasan global dan perubahan iklim serta akibat persoalan geopolitik, PT Jababeka Tbk (KIJA) yang merupakan pengembang kota mandiri mendorong adanya kerjasama konkret antar Indonesia dengan Australia untuk menyiasati masalah disrupsi food supply chain saat ini. 

Hal itu karena founder and chairman PT Jababeka Tbk, S.D. Darmono menilai Australia dan Indonesia memiliki keunggulan yang saling melengkapi. Di mana Indonesia memiliki pasar yang besar dengan total 250 juta populasi sedangkan Australia memiliki teknologi, inovasi, akses kapital dan akses ke market dunia.

Baca Juga: WIR Group dan Jababeka Kolaborasi Kembangkan Teknologi Metaverse di KEK Morotai

Pembahasan lengkap mengenai solusi dibahas melalui webinar "A Framework of IA-CEPA Global Supply Chain Food Security’, dan disiarkan langsung melalui zoom di President Lounge, pada Senin (5/9) lalu. 

Darmono menyampaikan bahwa kerja sama bisa memanfaatkan lahan yang belum digunakan Indonesia dan Australia dalam bentuk kerja sama joint venture. Tujuannya, memperlihatkan ke dunia bahwa Indonesia-Australia bisa berkontribusi terhadap permasalahan rantai pasok pangan.

“Kita bisa dengan open source di KEK Tanjung Lesung (di Banten) seluas 1500 hektar, di mana banyak orang berdatangan. Kita punya hotel, golf course, marina juga sedang dibangun. Ini merupakan tempat orang bisa datang dan relaks. Selain itu, secara geografis sangat strategis karena berdekatan dengan selat sunda yang menjadi jalur perdagangan. Kita bisa mulai dari sana dalam upaya menjalankan proyek agrobisnis,” terang Darmono. 

Atau, tambah Darmono, juga bisa melalui KEK Morotai- Maluku Utara. Dengan luas 1.101,76 hektar, KEK Morotai punya potensi di perikanan, yaitu ikan tuna, cakalang, tongkol dan udang vaname dan budidaya rumput laut.

Selain itu, KEK Morotai memiliki potensi pertanian (agrobisnis) dan sumber daya alam, seperti seperti batu bara, emas, mangan, dan nikel serta berada di lokasinya strategis yaitu jalur perdagangan antar negara dan benua yang dekat dengan Australia. 

Morotai daerah yang dikenal sebagai hasil pertaniannya ini memiliki empat lima komoditas unggulan, yaitu kelapa, cengkih, pala, padi dan kakao. Untuk luas padi sawah 1.450 hektar (BPS:2016), dengan luas panen padi di Pulau Morotai mencapai sekitar 1.249 hektar dengan produksi padi 4.048 ton. Sementara untuk komoditas kelapa, sudah mulai digarap oleh investor dari Jepang termasuk pelatihan-pelatihan untuk masyarakat lokal. Tujuannya, untuk menghasilkan produk-produk bernilai tinggi di pasaran internasional. 

“Kita tinggal start dengan merumuskan konsep dan plan untuk bekerja sama. Juga, kita harus punya mimpi bersama dengan investor Australia mengenai kerja sama (food) supply chain ini," kata Darmono di webinar yang diikuti lebih dari 100 orang ini.

Baca Juga: Pertamina NRE- Jababeka Infrastruktur Kembangkan Green Industrial Cluster

Sementara itu, Adhi Lukman selaku Chairman GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia) menambahkan bahwa,” Indonesia bukan hanya membutuhkan investor dari Australia datang ke Indonesia. Tapi Indonesia butuh partner strategis untuk membuat bersama-sama produk yang punya added value sekaligus juga membangun ekosistem makanan end to end. Mulai dari bahan mentah, teknologi hingga ekosistemnya agar harga terjangkau dan kompetitif harganya untuk rantai pasok global.”

Tujuannya, untuk perkembangan ekonomi bagi Indonesia dan Australia serta hubungan bisnis yang berkelanjutan. Sebab, industri agro – seperti industri makanan dan minuman serta pertanian – demand dari Indonesia sangat tinggi. Dengan populasi masyarakat Indonesia yang besar dan Gross Domestic Product (GDP) yang tinggi, maka permintaan F & B juga naik secara signifikan.

“Adapun bidang-bidang yang bisa dikerjasamakan antara Indonesia dengan Australia ialah makananan pertanian (agro food), pendidikan, seperti food innovation center,“ kata Yonathan Wijaya selaku Direktur Perdagangan dan Investasi untuk Indonesia dari Australian Trade and Investment Commission (Austrade). 

Yonathan menambahkan bahwa pihak Australia menaruh minat ekspor atas kebutuhan masyarakat Indonesia yang makin meningkat. Tetapi, Yonathan menekankan bahwa Australia tidak bisa memenuhi semua bidang untuk bekerja sama dengan Indonesia. Menurut Yonathan, pihak Indonesia perlu meningkatkan kapabilitas dan melakukan adjustment yang perlu dilakukan agar kerja sama antara Indonesia dan Australia terjalin komprehensif.

Baca Juga: Jababeka Infrastruktur Bersama Pertamina NRE Teken Kontrak Pengembangan Green Industrial Cluster

Solusi atas kondisi tersebut, menurut SD Darmono, diperlukan edukasi dan inovasi dalam regulasi dari pemerintahan kedua negara. Hal itu untuk mempermudah sharing knowledge, investasi, kerja sama hingga mudah menjalankan proyek. Dengan hadirnya kemudahan regulasi, maka kedua negara bisa mengatasi permasalahan kendala mengenai kerja sama dan persoalan rantai pasok ketahanan pangan. 

“Edukasi masyarakat tanpa praktek sama aja teori. Oleh karenanya, posisi Jababeka, kita coba memanfaatkan lahan yang belum terpakai di Indonesia dengan Kawasan Ekonomi Khusus (yaitu KEK Tanjung Lesung dan Morotai, Kendal), dengan investor, bangun infrastruktur dan bekerja sama pemerintahan lokal. Untuk itu, kita bisa bekerja sama lewat akademi, penggunaan lahan-lahan  dan melakukan pemberdayaan masyarakat,” kata Darmono. 

“Kami (di Indonesia) memiliki land yang bisa dimanfaatkan  untuk memaksimalkan profitability. Tapi, kita harus juga bisa create the market. Untuk itu, kami terbuka untuk open source, siap membuka diskusi mengenai teknologi dan bidang lain-lain untuk investor Australia datang ke Indonesia dalam memanfaatkan land untuk mengembangkan lokal dan global market. Kita bisa lakukan dengan perlahan, tapi butuh kesabaran. Pertama, mulai dengan langkah kecil dan perlahan kita akan berkembang bersama,” tambah penulis buku Building a Ship While Sailing ini.

Menurut Darmono, proyek joint venture antara Indonesia dengan Australia perlu disegerakan karena problem pemanasan global dan perubahan iklim merupakan masalah dunia, serta persoalan makanan merupakan tentang bertahan hidup. 

“Artinya, jika kerja sama tidak dilakukan sekarang, maka generasi selanjutnya akan merasakan dampaknya,” tutup Darmono. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: