Meneropong Kebijakan Program Pengungkapan Sukarela dari Aspek Keadilan
Oleh: Amanda Anindita Putri dan Shanet Isyana Ramadhani, Mahasiswi Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia
Program Pengungkapan Sukarela (PPS) sudah berakhir, tetapi aspek keadilan seputar kebijakan tersebut belum selesai diperdebatkan. PPS diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) yang dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari hingga 30 Juni 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa aspek keadilan merupakan pertimbangan dalam durasi pelaksanaan PPS, yaitu hanya enam bulan (DDTC, 2021). Sementara, jangka waktu PPS dari Tax Amnesty yang juga merupakan pengampunan pajak, terbilang pendek dan belum tentu memperhatikan aspek keadilan.
Baca Juga: Kementerian PUPR dan Kemenkeu Lakukan Serah Terima BMN Tahap 2 Sebesar Rp19,09 Triliun
Hal tersebut memicu kontra dari masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim (2017) menuai hasil bahwa jangka waktu yang terlalu singkat antara program-program pengampunan pajak tidak direkomendasikan. Terdapat potensi moral hazard di masyarakat apabila dilakukan berulang kali. Selain itu, PPS juga dapat menjadi boomerang untuk kepercayaan wajib pajak di jangka panjang karena perbedaan perlakuan antara wajib pajak patuh dan yang tidak patuh.
Konsep keadilan dapat dibahas lebih luas dari berbagai sudut pandang. Keadilan bersifat relatif dan PPS dapat disebut adil apabila pemerintah berhasil mengalokasikan penerimaannya secara merata untuk kesejahteraan masyarakat. Menurut Kim (2005), keadilan dapat diukur melalui dua indikator, yaitu kesetaraan dan kesepadanan. Keadilan tercapai apabila pemerintah tidak mengistimewakan individu, golongan, atau kelompok tertentu. Pemerintah juga dianggap adil apabila dapat memberikan benefit yang sepadan dengan harta yang diungkapkan oleh pesertanya.
Akan tetapi, keadilan bukan satu-satunya alat pengukur keberhasilan suatu kebijakan pemerintah. Terdapat empat asas pemungutan pajak menurut Rosdiana (2012), yaitu asas equality (keadilan), revenue productivity, ease of administration (kemudahan administrasi), dan neutrality (netral).
Kehadiran PPS di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi ditujukan lebih utama untuk meningkatkan penerimaan pajak dan mengesampingkan prinsip keadilan, khususnya indikator kesetaraan. Berdasarkan penelitian lapangan, asas equality dan revenue productivity tidak dapat berjalan secara beriringan dalam konteks PPS.
Kebijakan PPS merupakan hak yang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak dengan harta yang belum terungkap, seperti aset luar negeri atau surat-surat berharga. Oleh karena itu, program ini menjadi peluang yang tepat bagi para wajib pajak untuk segera melaporkan hartanya kepada negara. Namun, hasil temuan di lapangan menyatakan bahwa dorongan wajib pajak untuk mengikuti PPS adalah adanya harapan untuk mendapatkan benefit. Hal tersebut sesuai dengan indikator kesepadanan dari konsep keadilan yang digagas oleh Kim (2005).
Sebetulnya DJP sudah menyebutkan beberapa manfaat atau benefit yang bisa didapatkan oleh peserta PPS. Selain diberikan pengampunan, DJP mengeklaim bahwa wajib pajak juga akan dibebaskan dari potensi tuntutan pidana karena seluruh informasi dari Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) serta lampirannya tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana.
Selanjutnya, wajib pajak dapat melakukan penghematan pajak dari pembayaran PPh Final yang menjadi syarat keikutsertaan PPS. Manfaat yang ditawarkan tersebut cukup menguntungkan apabila dibandingkan dengan pembayaran nominal ketetapan pajak akibat adanya pemeriksaan dan penagihan pajak (DDTC, 2021).
Selain benefit yang telah disebutkan di atas, tentunya setelah program ini selesai pemerintah perlu memperlihatkan bukti nyata terkait pengalokasian hasil penerimaan dari PPS sebagai upaya mempertahankan dan meningkatkan kepatuhan sukarela. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengadakan perbaikan atau penyediaan fasilitas umum serta pemberian potongan untuk biaya keanggotaan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS).
Baca Juga: Geopolitik Hingga Implementasi Aturan, Kemenkeu Ungkap Sederet Tantangan Penerimaan Pajak
Selain pemberlakuan sanksi untuk wajib pajak yang tidak patuh, pemerintah dapat mengadopsi sistem penghargaan bagi wajib pajak yang patuh sebagai bagian dari pengalokasian penerimaan PPS.
Karena asas equality dan revenue productivity tidak dapat berjalan secara beriringan dalam kebijakan PPS, DJP dapat mengoptimalkan penerimaan negara dengan cara lain. Contohnya dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ/2019 tentang Tata Cara Ekstensifikasi, dibandingkan dengan menggunakan kebijakan pengampunan pajak seperti PPS. Sebaiknya pula program serupa pengampunan pajak ini tidak dijadikan senjata lagi oleh pemerintah.
Daftar Referensi
DDTC News. (2021, November 12). DJP Sebut PPS Tawarkan Beberapa Manfaat untuk Wajib Pajak. news.ddtc.co.id. https://news.ddtc.co.id/djp-sebut-pps-tawarkan-beberapa-manfaat-untuk-wajib-pajak-34451.
DDTC News. (2021, Desember 17). Program Ungkap Sukarela Cuma Berlaku 6 Bulan, Sri Mulyani: Biar Adil. news.ddtc.co.id. https://news.ddtc.co.id/program-ungkap-sukarela-cuma-berlaku-6-bulan-sri-mulyani-biar-adil-35372
Kim, S. E. (2005). The Role of Trust In The Modern Administrative State: An Integrative Model. Administration & Society, 37, 611-635. https://doi.org/10.1177/0095399705278596.
Ibrahim, M. A., Myrna, R., Irawati, I., & Kristiadi, J. B. (2017). A systematic literature review on tax amnesty in 9 Asian countries. International Journal of Economics and Financial Issues, 7(3), 220-225.
Rosdiana, H., & Irianto, E. S. (2012). Pengantar Ilmu Pajak. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum