Krisis pangan global akibat perang Rusia-Ukraina dapat menjadi ancaman di dalam negeri. Oleh karena itu seluruh pemangku kepentingan fokus menjaga ketahanan pangan nasional.
“Kerawanan pangan dipicu terganggunya rantai pasok yang mendorong kenaikan harga pangan lalu menekan daya beli masyarakat. Jangan sampai kondisi krisis pangan terjadi di Indonesia, karena dampaknya bisa meluas ke masalah sosial,” ucap Ketua Umum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid di Jakarta, kemarin.
Arsjad menyoroti kenaikan harga beras akhir-akhir ini di sejumlah wilayah di Indonesia. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) ada dua wilayah mengalami kenaikan rerata harga beras eceran.
Kenaikan harga rerata terbesar adalah Sulawesi Barat 6,6% dan Kalimantan Tengah 5,6%. Selain itu, ada sekitar 11 daerah yang masih defisit beras. Menurut Arsjad, krisis pangan salah satunya ditandai pasokan yang berkurang atau harga yang semakin tidak terjangkau.
“Secara fundamental, Indonesia perlu terus meningkatkan ketahanan pangan strategis seperti beras, terutama dari sisi produksi. Alasannya, kenaikan harga komoditas dapat bersumber dari sisi permintaan maupun penawaran, yang berpotensi mempengaruhi daya beli masyarakat,”tambahnya.
Baca Juga: Harga Tandan Buah Segar Petani Sawit Turun Menjadi Rp2.621,52 per Kilogram
Sementara itu Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah Supriyanto mengungkapkan ketersediaan beras dengan produksi padi Desember 2022 sebesar 313.731 ton GKP atau setara beras 180.412 ton.
Supriyanto yakin kebutuhan beras di wilayahnya dapat dipenuhi bahkan siap memasok ke daerah lain. Hal ini cukup beralasan karena berdasarkan perhitungan KSA BPS tahun 2022 ini Jateng berhasil memproduksi 9,55 juta ton (GKG) atau setara 5,5 juta ton beras.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Boyke P. Siregar
Tag Terkait: