Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memvonis bebas mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP, Bambang Sidik Achmadi, dalam persidangan yang digelar pada Kamis (16/3/2023) lalu. Ketua Majelis Hakim, Abu Achmad Sidqi Amsya, menilai Bambang dan bawahannya hanya menembakkan gas air mata ke tengah lapangan.
Adapun Achmad menilai gas air mata terbawa angin ke arah selatan. Hal tersebut dilihat dari fakta penembakan gas air mata yang dilakukan anggota Samapta di bawah komandonya.
Baca Juga: Buntut Vonis Bebas Terdakwa Insiden Kanjuruhan, DPR Sebut Putusan Hakim Nyeleneh: Sering Terjadi...
"Menimbang memperhatikan fakta penembakan gas air mata yang dilakukan anggota Samapta dalam komando terdakwa Bambang saat itu asap yang dihasilkan tembakan gas air mata pasukan terdorong angin ke arah selatan menuju ke tengah lapangan," kata ketua Hakim.
"Ketika asap sampai di pinggir lapangan sudah tertiup angin ke atas dan tidak pernah sampai ke tribun selatan," tambahnya.
Komnas HAM Sayangkan Putusan PN Surabaya: Tak Berikan Rasa Keadilan!
Komisioner Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Uli Parulian Sihombing, mengatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan pendapat HAM untuk memberikan titik terang pada insiden tersebut. Pendapat tersebut juga dilakukan untuk memastikan para korban Kanjuruhan terpenuhi hak-haknya.
"Pada amicus curiae (pendapat HAM) tersebut, Komnas HAM menyampaikan fakta-fakta peristiwa berdasarkan hasil pemantauan dan penyelidikan yang telah dilakukan serta merekomendasikan agar majelis hakim memberikan hukuman maksimal untuk para terdakwa kasus Kanjuruhan," kata Uli dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/3/2023).
Uli mengaku, menyayangkan putusan PN Surabaya yang membebaskan dua terdakwa insiden Kanjuruhan. Terlebih, satu terdakwa lainnya divonis 1,5 tahun.
"Komnas HAM berpendapat bahwa putusan tersebut belum memberikan rasa keadilan bagi para korban dan keluarga mereka yang kehilangan nyawa serta mengalami luka-luka dalam tragedi tersebut," kata dia.
"Hal ini mengingat sejumlah fakta peristiwa yang menunjukkan bagaimana peran para terdakwa dalam pengendalian massa hingga penembakan gas air mata yang menyebabkan kepanikan penonton yang berujung 135 orang meninggal dunia," tambahnya.
Kendati demikian, Uli tetap menghargai keputusan PN Surabaya. Pasalnya, putusan tersebut termasuk dalam independensi kekuasaan kehakiman sebagaimana Pasal 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Akan tetapi, kata Uli, Komnas HAM juga meminta dan mendorong Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk melakukan upaya hukum lain seperti banding dan kasasi agar putusan tersebut dapat diperiksa ulang guna memastikan keadilan tercapai bagi para korban dan keluarga korban.
"Komnas HAM berharap putusan banding ini nantinya dapat mengakomodasi restitusi, kompensasi, serta rehabilitasi terhadap korban dan keluarganya," katanya.
Dia menegaskan, insiden kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan Malang mesti menjadi pengingat dan momentum bagi seluruh pemangku kepentingan agar mengarusutamakan hak asasi manusia dalam setiap pengambilan tindakan dan kebijakan.
"Hal ini guna menghindari tindakan-tindakan kekerasan yang dapat membahayakan nyawa manusia serta memastikan kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa depan," tandasnya.
Baca Juga: Majelis Hakim Vonis Bebas Terdakwa Insiden Kanjuruhan, DPR: Kita Kecewa!
Adapun Komnas HAM memaparkan beberapa fakta dari Insiden Kanjuruhan:
- Adanya situasi lapangan stadion yang bisa dikendalikan dan dikuasai hingga pukul 22:08:56 WIB, tetapi aparat memilih untuk mengeluarkan tembakan gas air mata;
- Penembakan gas air mata yang dilakukan secara beruntun dalam jumlah banyak dan tidak ada upaya untuk menahan diri dengan menghentikan tembakan meskipun para penonton sebagian besar sudah keluar dari lapangan karena panik;
- Penembakan gas air mata tidak hanya sekadar menghalau penonton dari lapangan, tetapi turut diarahkan untuk mengejar penonton dan ditembakkan ke arah tribun penonton terutama pada tribun 13 sehingga menambahkan kepanikan penonton dan membuat arus berdesakan untuk keluar stadion dari berbagai pintu dengan mata perih, kulit panas, dan dada terasa sesak;
- Pada dasarnya, ketiga terdakwa mempunyai kapasitas untuk mencegah penembakan gas air mata, menghentikan penembakan yang sudah terjadi, serta mengendalikan lapangan dan para personel keamanan agar tidak melakukan tindakan yang berlebihan (excessive use of force), tetapi hal tersebut tidak dilakukan.
Catatan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat: Hukum yang Aneh!
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto, menilai bahwa ada yang aneh dalam hukum di Indonesia. Dia menilai, putusan tersebut tidak adil. Pasalnya, akibat tindakan yang diambil Samapta beserta anggotanya, berakibat jatuhnya korban jiwa.
"Menurut hemat saya, ada yang aneh dengan penegakan hukum kita. Ada yang tidak adil jika dalam tragedi Kanjuruhan yang telah memakan banyak korban jiwa, tidak ditemukan siapa yang bersalah," kata Didik saat dihubungi Warta Ekonomi, Jumat (17/3).
Didik menilai, kasus Kanjuruhan bisa dilihat dengan logika sederhana. Pasalnya, fakta lapangan menunjukkan bahwa banyak memakan korban jiwa dari gas air mata yang ditembakkan. "Masa tidak ada kesalahan. Jika ada kesalahan, masa tidak ada yang bertanggung jawab," kata dia.
Dia menilai, putusan bebas PN Jakpus pada dua terdakwa menimbulkan tanda tanya pada anggota penyidik, jaksa, hingga hakim dalam insiden Kanjuruhan.
"Apakah penyidiknya yang kurang cermat dalam melakukan penyidikan. Apakah jaksa penuntut yang juga tidak tepat dalam membuat dakwaan dan pembuktian? Apakah hakim memang kurang memperhatikan dan mempertimbangkan substansi dan keadilan dalam putusannya?" katanya.
Komisi Keolahragaan Dewan Perwakilan Rakyat: Kami Kecewa!
Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Demokrat, Dede Yusuf, mengaku kecewa dengan putusan tersebut. Kendati demikian, dia tetap menghormati putusan yang diambil PN Surabaya.
"Sebagai masyarakat, pasti kita kecewa. Tapi tetap harus hormati keputusan hukum yang diambil," kata Dede saat dihubungi Warta Ekonomi, Jakarta, Jumat (17/3).
Baca Juga: Geger Alasan Hakim Vonis Bebas 2 Polisi Terdakwa Tragedi Kanjuruhan: Gas Air Mata Tertiup Angin
Dia juga menuturkan, putusan PN Jakpus bukan lagi masuk dalam ranah keolahragaan, tetapi hukum. Kendati demikian, dia menegaskan insiden Kanjuruhan menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).
Dia juga mendesak pemerintah agar segera menunaikan seluruh kewajiban sosial kepada keluarga korban. Meski terlihat diputuskan, Dede menegaskan hal korban mesti terpenuhi.
"Saya juga meminta kepada pemerintah, PSSI, dan club agar semua kewajiban sosial kepada keluarga korban dipenuhi, jangan sampai ada yang merasa ditinggalkan," tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait:
Advertisement