Wacana Revisi PP 109/2012 Ternyata Beri Dampak Keras Terhadap Industri Kreatif
Para pelaku ekonomi kreatif nasional yang mewakili para pelaku industri ekonomi kreatif Indonesia, termasuk pelaku industri periklanan, penerbitan, penyiaran, dan lainnya meminta agar rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang tertuang dalam Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 25 Tahun 2022 ditinjau ulang lantaran terdapat dorongan pelarangan total iklan rokok yang merugikan para pelaku usaha. Dampak dari rencana pelarangan ini juga akan dirasakan oleh industri ekonomi kreatif yang selama ini juga turut memperoleh rezeki dari kontribusi iklan rokok nasional.
Ketua Umum Persaturan Periklanan Indonesia (P3I), Janoe Arijanto, menyatakan pelaku industri ekonomi kreatif menilai bahwa PP 109/2012 sebagai regulasi yang berlaku saat ini sudah komprehensif dan masih relevan untuk mengatur berbagai aktivitas iklan dan promosi produk rokok. Oleh karena itu, para pelaku sektor industri periklanan dan kreatif meminta pemerintah untuk meninjau ulang rencana revisi yang diajukan.
“Sektor industri ekonomi kreatif, khususnya industri periklanan, sedang mengalami perkembangan yang pesat. Jika larangan total iklan, seperti yang tertuang dalam pokok materi muatan revisi PP 109/2012 dilakukan, maka akan menghantam sektor industri kreatif dan periklanan secara keras. Yang kami pahami, setiap produk legal memiliki hak untuk berkomunikasi dengan target konsumen. Seharusnya ini juga berlaku untuk produk rokok yang komunikasinya dijamin dan diatur oleh perundang-undangnya,” tegas Janoe, dalam acara Focus Group Discussion (FGD) terkait rencana larangan total iklan rokok di media yang digelar Persaturan Periklanan Indonesia (P3I), di Ambhara Hotel, Jakarta (21/3).
Baca Juga: Waspada! Revisi PP 109/2012 Berpotensi Menimbulkan Badai PHK
Berbagai larangan komunikasi produsen dengan konsumen juga dilihat sebagai upaya yang kontraproduktif dengan visi pemerintah dalam mendorong iklim usaha yang kondusif karena sektor periklanan merupakan aktivitas yang dibutuhkan untuk turut menjaga keberlangsungan usaha dan investasi.
Ia juga menyebutkan sektor industri ekonomi kreatif nasional turut mendukung upaya pemerintah dalam menurunkan prevalensi perokok anak di bawah umur 18 tahun melalui berbagai upaya edukasi dan sosialisasi yang sesuai dengan ketentuan etika dan peraturan yang berlaku. Upaya tersebut memperlihatkan capaian yang baik, di mana menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) telah terjadi angka penurunan perokok anak dalam lima tahun terakhir.
Anggota Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Hery Margono, juga memaparkan bahwa selain menaati PP 109/2012 yang berlaku, para pelaku industri ekonomi kreatif pada praktiknya selalu menaati ketentuan tentang iklan rokok yang diatur dalam Etika Pariwara Indonesia yang sudah mempertimbangkan beragam aspek, seperti sosial, budaya, ekonomi, maupun politik yang berlaku di Indonesia.
“EPI adalah salah satu panduan yang digunakan para pelaku industri periklanan, industri kreatif, dan perusahaan pengiklan. EPI mengkategorikan rokok sebagai produk terbatas, yang iklannya memiliki sasaran utama usia 18 tahun ke atas. Iklan produk rokok juga selalu mencatumkan peringatan kesehatan pada materi komunikasinya sebagai bentuk sosialisasi dan edukasi bahaya merokok. Hal ini diharapkan dapat melengkapi program pemerintah dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya merokok,” terang Hery.
Baca Juga: Revisi PP 109 Dinilai Bikin Industri Tembakau Makin Kejepit
Berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada tahun 2021, terdapat enam subsektor yang terkait dengan industi tembakau, yaitu mulai dari subsektor desain, film/video, musik, penerbitan, periklanan, hingga subsektor penyiaran (TV dan radio), yang secara kolektif mempekerjakan lebih dari 725.000 tenaga kerja.
Oleh karena itu, Hery menegaskan bahwa rencana larangan total iklan rokok ini berpotensi menyebabkan kerugian besar bagi sejumlah subsektor industri ekonomi kreatif, mulai dari belanja iklan (media/penerbitan, periklanan, TV, dan radio), produksi iklan (desain, film/video), hingga sponsor pada acara musik. Apalagi, berdasarkan data Nielsen, iklan rokok termasuk dalam sepuluh besar kontributor belanja iklan media di Indonesia dengan nilai belanja iklan sebesar Rp 4,5 triliun pada Semester I 2022 dan Rp 9,1 trilun selama 2021.
“Jika rencana larangan total ini dilakukan, industri periklanan dan media nasional akan mengalami kerugian besar akibat hilangan pendapatan dari iklan rokok. Selain itu, akan ada juga kerugian terhadap biaya tidak langsung, utamanya terkait pembuatan materi iklan dan promosi, yang akan tercermin pada pengurangan tenaga kerja dan pengurangan produksi dari semua subsektor terkait,” ujar Hery.
Senada, Ikatan Rumah Produksi Iklan Indonesia (IRPII) menolak wacana revisi PP 109/2012. Dede Imam, Sekjen IRPII, menuturkan pemerintah perlu dengan matang mempertimbangkan dampak revisi regulasi terhadap tenaga kerja di produksk film dan iklan. Apalagi mengingat selama ini, para kru pekerja kreatif ini didominasi para pekerja lepas. "Sebagai pekerja yang berkecimpung 25 tahun di industri periklanan, harus kami akui, iklan rokok yang paling besar kontribusinya bagi kami. Kami memang sangat bergantung pada pengiklan termasuk industri rokok,"sebut Dede.
Ia pun menyarankan yang menjadi urgensi saat ini adalah mengevaluasi implementasi regulasi. "Mengapa keputusannya langsung pelarangan total? Kan bisa lebih dahulu dikaji sejauh mana efektivitas edukasi program penurunan prevalensi perokok anak. Kami mendukung upaya pemerintah menurunkan prevalensi perokok anak tapi jangan mengabaikan jutaan tenaga kerja yang terdampak,"ujar Dede.
Menanggapi masifnya dorongan revisi regulasi tersebut, Agung Suprio, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menuturkan pihaknya terus berupaya mengkaji secara mendalam terkait implementasi dan landscape PP 109/2012. Agung menegaskan bahwa dorongan untuk melarang total materi muatan iklan, promosi dan sppnsorship dalam wacana revisi regulasi PP 109/2012 tidak bisa dilakikan. "Acuan kita adalah Peraturan Pemerintah yang prinsipnyanya adalah pembatasan. Saya hadir di sini, harapannya, perwakilan dari rekan-rekan lintas kementerian juga dapat melibatkan semua pihak. Bantu jembatani pihak-pihak yang terdampak,"tegasnya.
Agung juga tak menampik bahwa wacana revisi PP 109/2012 selalu kontradiktif karena menyangkut kepentingan kesehatan dan industri media penyiaran. Ini yang menjadi titik konfrontasi. "Namun yang perlu diingat, tujuan KPI salah satunya adalah mmenumbuhkan industri penyiaran. Kita bisa lihat, dalam beberapa waktu terakhir industri radio tergilas karena disrupsi digital. Ini yang perlu menjadi pertimbangan," kata Agung.
Agung menambahkan, selama ini KPI sudah cukup ketat memantau iklan rokok dalam platform media penyiaran. " KPI melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dibuat untuk memantau tayangan di televisi agar ramah anak dan remaja. Misalnya, aturannya: wajib ditayangkan iklan rokok mulai jam 10 malam-5 pagi, dengan asumsi tidak ada anak- anak yang menonton. KPI aktif untuk menertibkan rokok iklan. Kami beri teguran, diskusi, edukasi hingga peringatan pada media yang tidak comply," tegas Agung.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement