Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kritik Jokowi Berpolitik di Istana, Wakil Ketua Partai Demokrat Sebut Istana Presiden AS Gelar 19 Kali Akad Nikah dan 4 kali Resepsi

Kritik Jokowi Berpolitik di Istana, Wakil Ketua Partai Demokrat Sebut Istana Presiden AS Gelar 19 Kali Akad Nikah dan 4 kali Resepsi Kredit Foto: Antara/Kbar Nugroho Gumay
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Demokrat Rachland Nashidik memberikan catatan tentang Istana Negara yang dijadikan tempat berpolitik.

Hal itu disoroti, Rachland karena akhir-akhir ini Presiden Jokowi mendapatkan sorotan tajam usai mengumpulkan 6 ketua umum partai politik dalam pengarahan capres/cawapres di Pemilu 2024.

Dan berikut catatan lengkapnya:

Presiden Jokowi sedang mendapat sorotan publik yang tajam. Ia dinilai ikut campur mengarahkan partai-partai politik untuk berkoalisi dan menentukan siapa Calon Presiden dan Wakil Presiden. 

Ada semacam kejengahan dalam akal sehat publik yang menilai seharusnya Presiden Jokowi mencegah dirinya sendiri melakukan kegiatan politik partisan di istana negara. 

Para pendukung Presiden menghadapi kritik ini dengan sengit, bahkan membawa-bawa ke dalam pembelaannya sebuah peristiwa lama, yakni resepsi pernikahan putra-putra Presiden SBY di istana negara, untuk membenarkan tindak tanduk Presiden Jokowi tersebut. 

Argumen itu, kendati faktual, gagal mendorong perdebatan publik ini menjadi produktif. Padahal, ikhwal yang dibahas, yakni etika bagi seorang Presiden demi menjalankan pemerintahan yang fair dan efektif, sangat penting dalam membangun demokrasi yang sehat dan bersemangat.

Lagi pula, tidakkah seharusnya masa lalu dijadikan cermin untuk memperbaiki hari ini? Bukan sebaliknya, apa yang terlanjur dianggap sebagai kesalahan di masa lalu justru dijadikan alasan untuk membuat kesalahan baru.

II

Sebenarnya, ada sejumlah perkara berbeda yang dicampuraduk seolah memiliki makna yang sama saja, dalam perdebatan tersebut.

Itulah aktivitas pribadi Presiden, personalisasi jabatan, kegiatan pemerintahan atau layanan publik dan kegiatan politik partisan. Catatan ini, dengan mengambil beberapa contoh, mencoba mengurainya.

Presiden adalah pekerjaan 24 jam sehari. Untuk alasan itu, Negara memberi rumah bagi Presiden, yakni di dalam Istana Negara. Maka, aktivitas pribadi Presiden di istana negara pada dasarnya tidak dilarang.

Termasuk ke dalamnya, menyelenggarakan akad nikah atau resepsi pernikahan keluarga Presiden, baik untuk dirinya sendiri maupun anggota keluarganya. 

Sebagai contoh, dalam sejarah White House, sudah pernah diselenggarakan 19 kali akad nikah dan 4 kali resepsi pernikahan keluarga Presiden. Terbaru, pada November 2022, Presiden Joe Biden menyelenggarakan pernikahan cucunya di Istana Kepresidenan Amerika Serikat itu. Dengan kata lain, publik Amerika tidak memandang kejadian itu sebagai pelanggaran etika politik.

Dari contoh itu, kita bisa belajar bahwa apa yang sekurangnya terasa problematik dari sisi etika politik, bukanlah kegiatan pribadi Presiden di dalam istana negara. 

Bagaimana dengan hal sebaliknya, yakni menyelenggarakan kegiatan negara atau pemerintahan di rumah pribadi Presiden? 

Tentang itu, kita bisa memetik pelajaran dari masa Orde Baru. Saat itu, Presiden Soeharto seringkali membicarakan, mengambil dan mengumumkan kebijakan pemerintah di rumah pribadinya di Jalan Cendana.

Inilah yang pada waktu itu dikritik oleh para aktivis pro-demokrasi sebagai personalisasi jabatan. Presiden Soeharto membuat rumah pribadinya seolah istana negara, cerminan kegagalannya  memisahkan kegiatan pribadi dari kegiatan jabatan sebagai Presiden atau kepala negara.

Tapi, perlu diingat, kritik ini tidak menyebut ke dalamnya kegiatan Soeharto di Jalan Cendana selaku Ketua Dewan Pembina Golkar, yang jauh lebih berkuasa dari Ketua Umum Golkar. 

Sesungguhnya, memang tidak terasa problematik, apabila Presiden melakukan kegiatan politik partisan di kediaman pribadinya sendiri, atau tempat lain yang bukan bagian dari fasilitas negara.

Sebaliknya, Problem sungguh terasa, sekali lagi dari sisi etika politik, apabila Presiden menggunakan otoritas negara dan fasilitasnya untuk kegiatan politik partisan.

Misalnya untuk  mempengaruhi pemilu atau mengarahkan partai partai politik untuk berkoalisi berikut menetapkan siapa Capres dan Cawapresnya.

Ini berhubungan dengan perkara public trust. Layanan publik adalah inti dari penyelenggaraan pemerintahan. Layanan publik harus fair dan efektif, dan karena itu perlu bersifat imparsial, agar mendapat kepercayaan publik yang cukup.

Itu makanya Presiden harus memisahkan kegiatan politik partisan dari kegiatan negara atau pemerintahan. Agar terdapat cukup kepercayaan publik kepada pemerintahan yang dipimpinnya dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya. Tanpa adanya public trust, maka pemerintahannya tidak bisa efektif, selalu diwarnai penentangan atau gugatan, karena dinilai tidak fair.

III

Amerika Serikat memiliki Undang-undang yang melarang federal officials memanfaatkan otoritas negara dan fasilitasnya untuk kegiatan politik partisan, misalnya mempengaruhi Pemilu.

Undang-undang ini, yakni Hatch Act 1939, terus mengalami pembaruan atau kontekstualisasi, yang terbaru pada masa Presiden Obama, yakni menetapkan hukuman disiplin bagi pejabat publik yang melakukan pelanggaran.

Presiden Trump, di ujung  periode pemerintahannya, pernah membuat kontroversi panjang. Dia dikritik menyimpangi ketentuan Hatch Act 1939 karena menggunakan White House sebagai tempatnya menyampaikan acceptance speech sebagai kandidat Presiden dari Partai Republik untuk pemilu selanjutnya. 

Trump membantah. Ia berargumen bahwa yurisdiksi Hatch Act 1939 hanya berlaku pada pegawai negara, tapi tidak pada Presiden. Dia menambahi, lagipula pidatonya itu, meski bertempat di White House, namun diselenggarakan di taman yang merupakan bagian dari kediaman pribadinya sebagai Presiden dan belum pernah digunakan untuk kegiatan kenegaraan. 

Argumen Presiden Trump itu, bahkan kendati terbukti telah menyelamatkannya dari serangan, tetapi sesungguhnya tetap didasari oleh kesadaran atau persetujuannya sendiri pada etika politik yang hari-hari ini sedang dengan sengit dibicarakan di Indonesia.

Itulah bahwa negara atau otoritas penyelenggara pemerintahan harus berlaku imparsial. Dan istana negara tidak boleh digunakan oleh Presiden untuk politik partisan.

Presiden Jokowi perlu lebih bersungguh-sungguh mempelajari kebajikan itu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: