DPR Heran Tembakau Disamakan dengan Narkotika dan Alkohol di RUU Kesehatan: Kok Bisa?
Lintas Komisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kompak menolak pasal yang menyetarakan tembakau dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan. Beda dengan barang terlarang, tembakau dan produk hasil tembakau adalah legal, sudah diatur, dan bahkan berkontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia.
Wakil Ketua Komisi IX DPR, Nihayatul Wafiroh, mengaku heran kenapa tiba-tiba ada penyamaan tembakau dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika dalam pasal 154 RUU Kesehatan. "Saya tidak tahu bagaimana pembahasannya di Baleg (Badan Legislatif) dulu kok pasal itu bisa masuk draft RUU Kesehatan," ujarnya keheranan, saat dimintai pendapatnya oleh media, dikutip Selasa (6/6/2023).
Baca Juga: DPR dan Petani Tembakau Sikapi Polemik Pasal-Pasal Pertembakauan dalam RUU Kesehatan
Melihat banyak pihak menolak adanya bunyi pasal dimaksud, kata Nihayatul, besar kemungkinan drafnya akan ditinjau ulang. Saat ini pembahasan RUU Kesehatan sedang berjalan, tetapi tidak berurutan dari pasal 1 ke pasal kedua dan seterusnya. Pembahasannya dilakukan sesuai klaster.
"Ada klaster-klasternya. Kami juga mulai bahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), tapi pasal soal tembakau belum dibahas," ungkapnya.
Penolakan tegas atas pasal dimaksud juga disampaikan anggota Komisi IV DPR, Firman Soebagyo. Menurutnya, tembakau memiliki latar belakang dan sejarah yang panjang sebagai produk legal di Indonesia, yang sarat akan nilai budaya hingga ekonomi.
"Saya tidak setuju kalau tembakau disetarakan dengan narkotika. Kita harus melihat latar belakang sejarahnya. Kapan tembakau itu masuk Indonesia dan kapan narkoba membudaya di Indonesia," tegasnya.
Firman menjelaskan bahwa tembakau sebagai sebuah varietas yang dibawa oleh perusahaan dagang Belanda (VOC) dan bukan hanya dikonsumsi di dalam negeri, melainkan juga bernilai ekonomi yang tinggi. Termasuk sebagai produk ekspor, terutama untuk produk cerutu di sejumlah negara.
"Tembakau memiliki nilai ekonomi tinggi. Bahkan nilai ekonominya lebih tinggi dari sawit. Kemudian juga bisa menyejahterakan petani kita yang jumlahnya jutaan orang. Dari sisi industrinya, itu serapan tenaga kerjanya kurang lebih ada 5 juta. Kemudian, cukai rokoknya mencapai ratusan triliun rupiah. Namanya tembakau ini sangat positif bagi pertumbuhan ekonomi, bagi kesejahteraan masyarakat," jelas Firman memaparkan.
Maka, tembakau sebagai produk legal tidak bisa disamakan dengan narkotika dan psikotropika yang dilarang keras oleh hukum. ”Kami tidak sepakat disamakan dengan narkotika," imbuhnya.
Baca Juga: DPR: Pasal Tembakau di RUU Omnibus Kesehatan Bisa Membunuh Petani dan Industri
Penolakan atas pasal penyamarataan tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebenarnya bukan hanya datang dari parlemen sebagai perwakilan rakyat. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga secara tegas menolak ini.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan telah menolak bunyi pasal 154 dalam RUU Kesehatan dimaksud. "Kami keberatan itu. Kami sudah kirim surat," ucapnya.
Sebab, pengelompokan tembakau yang seolah sama dengan narkotika sebagai zat adiktif dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman publik.
"Kita memang sudah melakukan komunikasi, sudah mendiskusikan untuk mempertimbangkan kembali pengelompokan tersebut. Jadi memang sudah dalam proses agar tidak disalahmengertikan," kata Direktur Jenderal Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, menambahkan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait:
Advertisement