PP 28/2024 Dinilai Ancam Industri Tembakau Nasional, DPR Hingga Pelaku Usaha Soroti Larangan Plain Packaging dan Pembatasan Kadar
Kredit Foto: Mochamad Ali Topan
Kondisi industri tembakau sedang menghadapi tekanan besar, memicu kewaspadaan banyak pihak terhadap kebijakan baru yang dikhawatirkan dapat memperburuk situasi ekonomi dan lapangan kerja. Sejumlah regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, termasuk Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dinilai berpotensi memberikan tekanan berat bagi pelaku usaha, petani, dan pekerja yang bergantung pada sektor ini.
Menanggapi situasi tersebut, Ketua Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar, Muhammad Misbakhun, menyatakan bahwa industri tembakau saat ini dianalogikan sebagai "industri tebak koin" yang beroperasi tanpa adanya kepastian arah atau peta jalan (roadmap) yang jelas. Menurutnya, munculnya berbagai tekanan regulasi baru ini sudah menyerupai bentuk penyiksaan terhadap industri.
Salah satu isu yang disoroti Misbakhun adalah wacana plain packaging, yaitu penyeragaman kemasan rokok dengan warna yang sama, yang sedang disiapkan Kemenkes sebagai aturan turunan dari PP 28/2024. Misbakhun memberikan tanggapan keras mengenai hal tersebut.
"Kalau nanti kebijakan plain packaging diterapkan, saya bilang: lawan saja, Pak. Itu sudah salah kamar. Regulasi kemasan seharusnya menjadi kewenangan Kementerian Perindustrian, bukan Kemenkes," ujar Misbakhun belum lama ini.
Ia berpendapat tidak ada industri di dunia yang dilarang menggunakan merek dagang. Penerapan kebijakan tersebut adalah langkah radikal dan secara langsung melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) maupun prinsip persaingan usaha yang adil.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menyatakan sektor tembakau merupakan industri padat karya, padat aturan, dan padat pungutan. Ia turut menyoroti kekhawatiran pelaku usaha terhadap turunan baru dari PP 28/2024 yang akan membatasi kadar kandungan TAR dan Nikotin.
"Jika pemerintah membatasi kadar kandungan tertentu, maka hal ini akan berdampak besar pada petani tembakau, terutama mereka yang menghasilkan tembakau dengan kadar nikotin yang masih tinggi. Banyak petani akan kehilangan pasarnya," jelas Henry.
Ia berharap, pengaturan dari sisi kesehatan tidak hanya berfokus pada larangan hingga teknis seperti font dan tata letak kemasan. Tindakan itu disebut hanya akan membunuh industri pertembakauan."Terkait pack (dengan warna) seragam dan larangan berjualan, kami harap ini dihapus saja, karena hanya menyusahkan," katanya.
Lebih lanjut, persoalan Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) pun menuai sorotan. Bupati Situbondo, Yusuf Rio Wahyu Prayogo, yang daerahnya merupakan penghasil tembakau terbesar ketiga di Jawa Timur, memberikan perspektif dari sisi daerah penghasil.
Ia menyoroti kontradiksi kebijakan dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang digunakan untuk membangun puskesmas dan infrastruktur.
"Pertanyaan saya sederhana: posisi negara sebenarnya di mana? Apakah negara ingin mendukung industri ini, atau justru ingin menghapusnya? Sikap pemerintah selama ini tidak jelas, seperti dua arah yang berlawanan," katanya.
Sedangkan Bupati Temanggung, Agus Setyawan, mengatakan DBHCHT seharusnya digunakan untuk pelatihan, pemberdayaan, dan peningkatan mutu hasil pertanian, termasuk petani tembakau.
"Kami percaya, negara-negara maju seperti Jepang bisa maju karena pemerintahnya berpihak penuh kepada petani. Petani yang gagal panen dibantu, petani yang kesulitan ditopang. Karena mereka tahu, uang negara berasal dari rakyatnya," ujarnya.
Baca Juga: Kebijakan Tak Naikkan Cukai Tembakau Dinilai Jaga Stabilitas Industri dan Tenaga Kerja
Ia meminta seluruh elemen pemerintahan bersikap solid dan satu arah dalam membuat kebijakan juga ketetapan hukum. Tidak ada ego sektoral yang dikedepankan seperti yang terjadi selama ini.
Dirjen Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, Budi Setiawan, pun setuju kepastian hukum adalah hal yang paling penting bagi industri agar pelaku usaha dapat merencanakan kegiatan usahanya dengan baik. Ia mengaku, saat ini terdapat lebih dari 400 aturan yang mengatur industri tembakau, menciptakan kondisi padat aturan yang memberatkan.
Kementerian Perindustrian pun mengaku siap mendukung upaya legislatif untuk menyusun aturan baru asalkan ada kepastian dan keberpihakan yang nyata terhadap industri tembakau. Isu-isu seperti plain packaging dan pembatasan kadar kandungan, sebaiknya dipertimbangkan matang dan tidak serta-merta mengikuti regulasi negara lain yang tidak memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi sebesar Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement