Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Penerbitan Surat Utang Sepi, Ini Biang Keladinya

Penerbitan Surat Utang Sepi, Ini Biang Keladinya Kredit Foto: Pefindo
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menyatakan bahwa meningkatnya suku bunga memberikan dampak terhadap penerbitan surat utang di tanah air. Tercatat, hingga semester I 2023, total penerbitan surat utang hanya sebesar Rp45,1 triliun. 

Direktur Utama Pefindo, Irmawati mengatakan bahwa total penerbitan surat utang semester II 2023 diperkirakan bakal lebih rendah dibanding total nilai surat utang yang akan jatuh tempo selama semester II 2023 tercatat sebesar Rp75,5 trliiun.

“Jadi melihat itu, jumlah penerbitan surat utang semester II 2023 masih dibawah nilai total surat utang yang jatuh tempo,” kata Irmawati, Jumat (8/7/2023).

Baca Juga: Pefindo Putuskan untuk Kembali Angkat Irmawati Sebagai Direktur Utama

Menurut Irma, total nilai surat utang jatuh tempo sebesar 80 persen dari total penerbitan surat utang dalam satu tahun. Tapi, pada semester I 2023 telah terjadi anomali karena total nilai surat utang yang telah terbit lebih kecil dibanding total nilai surat utang yang jatuh tempo sebesar Rp51,4 triliun.

“Kondisi itu berlanjut pada semester II 2023, karena investor surat utang berharap kupon lebih tinggi. Tapi dari sisi emiten berharap, kuponnya turun. Jadi ini belum ketemu persepsi antara emiten dengan investor,” papar dia.

Sementara itu, dia juga bilang, bahwa Pefindo sampai periode 30 Juni 2023, masih mengantungi mandat pemeringkatan surat utang dari 41 perusahaan dengan total nilai mencapai Rp61,3 triliun.

Adapun, Pefindo menilai bila Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang akan diadakan pada bulan Juli 2023 akan tetap mempertahankan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate pada tingkat 5,75%. 
Baca Juga: Fokus Stabilkan Nilai Tukar, BI Kembali Tahan Suku Bunga Acuan di Level 5,75%

Kepala Divisi Riset Ekonomi Pefindo, Suhindarto menyatakan bahwa proyeksi ini dilakukan karena BI masih memperhatikan tekanan potensial dari kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. Dengan mempertahankan suku bunga pada level 5,75%, stabilitas nilai tukar dinilai dapat terjaga.

Namun, bila suku bunga diturunkan, maka nilai tukar akan mengalami fluktuasi yang tinggi dan pada akhirnya dapat memicu keluarnya modal jika nilai tukar terdepresiasi

Selain itu, jika BI menurunkan suku bunga, hal tersebut juga berpotensi menimbulkan risiko baru seperti inflasi impor. Artinya, inflasi yang terjadi di luar negeri akan terbawa ke dalam negeri dan menyebabkan peningkatan inflasi di dalam negeri.

"Oleh karena itu, berdasarkan penilaian kami, suku bunga Indonesia tetap dipertahankan pada tingkat 5,75%," jelas Suhindarto.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: