Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Upaya Pemerintah Kuasai 51% Saham Vale dan Untungnya bagi Indonesia

Upaya Pemerintah Kuasai 51% Saham Vale dan Untungnya bagi Indonesia Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Mengeruk hasil bumi Indonesia sejak tahun 1968, PT Vale Internasional yang kini dikenal dengan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) diwajibkan untuk medivestasikan sahamnya hingga 51 persen agar dapat memperpanjang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). 

Hal tersebut tertera jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pasal 147 berbunyi pemegang IUP dan IUPK wajib menawarkan divestasi saham secara langsung kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD.

Kewajiban divestasi tersebut harus dilakukan oleh Vale agar dapat melanjutkan IUP dan IUPK yang akan habis pada Desember 2025.

Baca Juga: Sekjen DEN: Divestasi Vale Harus Sesuai Aturan Negara

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, ini merupakan momentum yang tepat untuk dapat menambah porsi kepemilikan saham Pemerintah Indonesia atas PT Vale Indonesia Tbk (INCO).

"Saya kira tepat sekali ya dan kali ini ini momen yang tepat untuk merebut 51 persen mayoritas dia setelah 50 tahun kita hanya menguasai sekitar 11% sama sekali tadi cukup sulit sekali ya," ujar Fahmy saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (5/7/2023).

Fahmy mengatakan, momen tersebut tak terlepas dari kontrak Vale yang akan habis dalam waktu dekat. Menurutnya, posisi tersebut membuat Indonesia memiliki kekuatan tersendiri untuk melakukan negosiasi agar dapat menguasai setidaknya 51 persen saham perusahaan asal Kanada tersebut. 

"Nah, kalau misalnya Vale tidak sanggup atau tidak mau. Maka tahun depan pada saat kontrak ya habiskan 2025, maka jangan diperpanjang, jadi cara perpanjangan. Jadi syarat perpanjangan izin usaha pertambangan itu adalah penguasaan saham Vale 51 persen terjadi," ujarnya. 

Lanjutnya, bilamana Vale tidak mengindahkan untuk memberikan setidaknya 51 persen sahamnya dan pemerintah tidak melakukan perpanjangan kontrak, menurutnya, tenaga kerja Indonesia memiliki kemampuan untuk dapat mengolah tambang peninggalan Vale. 

Fahmy menyebut, berdasarkan pengamatannya, 95 persen dari tenaga kerja di Vale merupakan orang Indonesia. Hal itu menumbuhkan keyakinan bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dapat mengelola tambang tersebut.

"Saya amati bahwa hampir 95% yang bekerja di Vale itu adalah orang-orang Indonesia. Dan saya yakin kapabilitasnya tidak diragukan dan pasti bisa, sehingga kita enggak pesimis gitu ya bahwa dengan penguasaan tadi kita tidak bisa menguasai, saya kira bisa itu," ucapnya. 

Pengakhiran Kontrak

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, selain divestasi Vale, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk mengakhiri kontrak dengan Vale. 

"Selain divestasi, perlu jadi pertimbangan untuk pengakhiran kontrak Vale yang akan habis di 2025," ujar Bhima saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Selasa (4/7/2023). 

Bhima menilai bahwa divestasi perlu dilakukan untuk memastikan kendali utama atas program hilirisasi mineral Vale.

"Kalau saham pengendali dipegang asing, khawatir makin mempersulit program hilirisasi dan makin lama nikel bisa jadi baterai mobil listrik," ujarnya.

Selain itu, keuntungan lainnya dari adanya divestasi adalah nilai tambah yang lebih besar dalam bentuk pajak dan hilirisasi industri nikel. Kemudian serapan tenaga kerja lokal lebih besar dan bisa mengendalikan dampak negatif lingkungan hidup.

"Contohnya menghentikan penggunaan PLTU batu bara dalam setiap aktivitas hilirisasi," ucapnya.

Penempatan Aset

Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendi Manilet menilai divestasi saham Vale bukanlah satu-satunya jalan untuk dapat mengontrol perusahaan asal Kanada tersebut.

"Saya kira divestasi ini bukanlah satu-satunya cara yang kemudian bisa dilihat apakah pemerintah Indonesia itu bisa mengendalikan kebijakan perusahaan," ujar Yusuf saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Selasa (4/7/2023).

Namun, dengan adanya divestasi ini, setidaknya pemerintah punya daya tawar yang lebih tinggi jika dibandingkan ketika program ataupun kebijakan divestasi saham Vale tidak dilakukan.

Yusuf menyebut, pemerintah masih bisa mengontrol agar Vale bisa memberikan keuntungan yang sama besarnya kepada Pemerintah Indonesia dengan beragam regulasi. Salah satunya adalah terkait penempatan aset milik Vale yang selama ini tidak berada di Indonesia. 

"Masalah penempatan aset dan ini tentu tidak mengurangi potensi untungan yang bisa didapatkan oleh pemerintah meskipun secara nilai investasi saham misalnya itu tidak begitu besar," ujarnya. 

Yusuf melanjutkan, mengenai isu yang saat ini tengah didiskusikan, terkait penempatan aset ketika divestasi ini dilakukan diharapkan akan dapat terlaksana.

Pasalnya, adanya hal tersebut diharapkan akan menimbulkan multiplier effect yang lebih besar ke perekonomian Indonesia.

"Maka penempatan aset dari rencana divestasi Vale ini dilakukan di dalam negeri," ujarnya. 

Lanjutnya, dampak tidak langsung lainnya adalah penerimaan negara yang berpotensi lebih besar ketika aset dari program investasi tersebut ditempatkan di Indonesia. 

Menurutnya, penempatan itu tentunya akan mengerek beberapa pos penerimaan pajak, termasuk di dalamnya pos penerimaan pajak untuk perusahaan.

"Kemudian pos penerimaan pajak untuk individu dan juga pos penerimaan pajak dari aktivitas perekonomian yang dilakukan Vale di dalam negeri," ungkapnya. 

Keuntungan Indonesia

Fahmy Radhi menilai ada beberapa keuntungan yang diperoleh bila pemerintah dapat menambah porsi kepemilikan saham Vale. Keuntungan pertama terkait proses pengambilan keputusan yang dilakukan perusahaan.

Di mana, Indonesia akan memiliki peran besar dalam pengambilan keputusan karena berada dalam posisi pemegang saham mayoritas.

"Misalnya paling lama ini kan hanya ekspor bijih nikel, bahan mentahnya. Nah kemudian dibutuhkan smelter, maka bisa diputuskan dalam rapat pemegang saham yang kita mayoritas harus membangun smelter," ujar Fahmy.

Fahmy mengatakan, keuntungan kedua adalah terkait dividen yang diperoleh negara melalui MIND ID bisa jauh lebih besar. Pasalnya, jika pemerintah mampu meminta Vale untuk memberikan sahamnya sebesar 51 persen, secara otomatis akan membuat dividen yang diterima pemerintah lebih besar.

"Keuntungan yang kedua, dividen yang akan diperoleh Indonesia melalui MIND ID jauh lebih besar karena kita memegang 51 persen dibanding, misalnya sebelum hanya 11 persen," ujarnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: