Sekilas tentang Proof of Work dan Proof of Stake di Kripto, Apa Itu?
Pernah mendengar istilah proof of work dan proof of stake di transaksi mata uang kripto? CEO Reku, Sumardi Fung, menjelaskan definisi dan cara kerjanya di mata uang kripto.
Pada dasarnya, proof of work dan proof of stake merupakan sebuah kesepakatan yang terdistribusi dan trustless di blockchain kripto.
Baca Juga: Jumlah Pencurian Dana Kripto Oleh Korea Utara Turun 80% dari 2022
Mulanya, Sumardi menceritakan tentang asal-usul Bitcoin dan Ethereum. Ia mencontohkan Ethereum. Khusus untuk Ethereum, sebelumnya masuk dalam kategori proof of work, yakni sebuah sistem untuk mencegah gangguan pada blockchain yang bersifat publik. Sehingga, jika ada versi yang berbeda, akan segera ditolak pengguna lain.
“Kalau dulu itu, Ethereum [masuk] proof of work. Kamu harus kerja, baru kamu dapat imbalan atau reward,” imbuh Sumardi ketika ditemui Warta Ekonomi di Jakarta pada Selasa (12/9/2023).
Dilansir dari berbagai sumber, proof of work juga merupakan sebuah persyaratan untuk mendefinisikan sekumpulan data yang rumit untuk dihitung dalam sebuah penambangan kripto. Jika berhasil, penambang kripto atau miner dapat menghasilkan jaringan dan blok baru ke blockchain, lalu mendapatkan imbalan atau reward berupa koin baru untuk dicetak.
Lalu, bagaimana dengan proof of stake? Sumardi mencontohkan Ethereum yang tergolong proof of stake. Pada kuartal pertama tahun 2020, Ethereum bermigrasi ke proof of stake. Sehingga para penambang kripto tidak lagi menggunakan daya listrik, melainkan dengan perangkat lunak (software) khusus, yang memiliki skalabilitas jauh lebih besar.
“Kalau sekarang itu kamu menyalakan software, kamu taruh Ethereum di situ, nanti dia akan bekerja sendiri begitu lho, tanpa mengonsumsi listrik yang besar,” tambah Sumardi.
Sumardi juga menambahkan, proof of stake dapat semakin kuat jika para penambang banyak berkontribusi, akibatnya jaringan atau blok pada blockchain semakin kuat.
Soal penerapan proof of work dan proof of stake, mana yang lebih menghabiskan daya listrik? Sumardi mengambil contoh Bitcoin yang hingga hari ini masih hidup berkat jutaan server dan dukungan dari penambang kripto.
Baca Juga: Bank Sentral Hong Kong Peringatkan Bursa Kripto yang Mengklaim Sebagai Bank Melanggar Hukum
“Nah, konsumsi listrik nggak? Ya, itu konsumsi listrik. Cuman itu banyak teori yang mengatakan, kita semua mempertahankan dan memantau uang kan juga perlu konsumsi listrik. Tapi itu kan teknologi blockchain versi 1. Blockchain versi 2, itu listriknya juga kecil sekali, kayak Ethereum,” pungkas Sumardi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement