Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Polemik APBN Dijadikan ‘Tambal’ Bengkaknya Biaya Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Polemik APBN Dijadikan ‘Tambal’ Bengkaknya Biaya Kereta Cepat Jakarta-Bandung Kredit Foto: Kemenhub
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejak pertama kali diumumkan, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) telah ramai dibicarakan oleh publik. Selain menjadi simbol kemajuan infrastruktur transportasi di Indonesia, proyek ini juga menjadi titik fokus polemik terkait penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai jaminan. 

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengeluarkan sebuah peraturan yang menjaminkan APBN untuk utang Proyek Kereta Cepat yang membengkak. Penjaminan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023. 

Dalam peraturan tersebut, berisi tata cara pemberian jaminan pemerintah terhadap pembengkakan biaya kereta cepat, termasuk diperlukan audit 3 bulanan keuangan PT KAI. Namun, tak ada aturan detail terkait besaran jaminan utang atas PT KAI.

Baca Juga: APBN Dituding 'Digadaikan' ke China Lewat KCJB, Anak Buah Sri Mulyani: Itu Pikiran Jorok!

Mengutip dari Kompas.com, Jumat (22/9/2023), Menkeu Sri Mulyani menyebut bahwa biaya pembengkakan kereta cepat sudah diaudit oleh BPKP dan BPK, di dalamnya ada rekomendasi untuk penanganan pembengkakan biaya.

Cost overrun sudah diaudit oleh BPKP dan BPK, dan di situ ada rekomendasi untuk penanganan cost overrun,” ujarnya. 

Selanjutnya, diketahui bahwa proyek ini akhirnya jatuh ke investor Tiongkok lantaran mereka menawarkan biaya yang lebih rendah sekitar Rp88 triliun. Namun, seiring berjalannya waktu, biaya proyek ini kian membengkak menjadi sekitar Rp106,2 triliun. Pembengkakan biaya tersebut membuat Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung yang seharusnya rampung pada tahun 2019, menjadi tertunda hingga tahun 2023. 

Sebagai informasi, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) merupakan perusahaan patungan antara konsorsium Badan Usaha Milik Negara Indonesia (BUMN) melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium perusahaan perkeretaapian Tiongkok melalui Beijing Yawan HSR Co.Ltd.

Pemerintah Ingkar Janji?

Dijadikannya APBN sebagai jaminan utang yang membengkak dari Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung kepada China sontak membuat publik mengernyit. Pasalnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sendiri pernah mengatakan bahwa pembangunan proyek transportasi baru ini tidak akan menggunakan APBN sepeserpun dan tidak memberikan jaminan apa pun pada proyek KCJB jika terjadi masalah.

"Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN. Tidak ada penjaminan dari pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya B to B, bisnis," pungkas Jokowi pada 15 September 2015 lalu. 

Namun, nyatanya, saat biaya proyek ini membengkak, tiba-tiba diterbitkan Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 89 Tahun 2023, yang menyebut bahwa APBN akan dijadikan "tambal" dari bengkaknya utang proyek tersebut. 

Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, menilai bahwa pemerintah sudah melakukan ingkar janji. Menurutnya, meskipun hanya dijadikan sebagai jaminan, tetapi jaminan tersebut dananya tetap berasal dari APBN itu sendiri. Pemerintah dikatakan akan menanggung kerugian dari proyek tersebut dalam dana untuk belanja lain-lain. 

“Memang kalau kita lihat ini ada ingkar janji ya dari pemerintah berkaitan dengan statement begitu. Biar bagaimanapun, meskipun masukinnya ke dalam skema penjaminan, sumber penjaminan tersebut tetap dari APBN, meskipun secara tidak langsung. Kalau secara tidak langsung biasanya ada di belanja lain-lain, pemerintah menanggung kerugian atau cost overrun,” jelasnya dikutip dari kanan YouTube KompasTV, Sabtu (23/9/2023). 

Ia lalu mengatakan bahwa pemerintah harus mengatur dari Permenkeu No. 89 Tahun 2023 tersebut dengan jelas dan detail. Ia mengatakan ada dua komponen penting yang harus dijelaskan secara detail dalam peraturan tersebut.

Pertama, harus adanya batasan risiko mengenai seberapa besar beban yang harus ditanggung oleh pemerintah terhadap bengkaknya biaya proyek tersebut. 

“Yang pertama, saya kira yang belum jelas adalah batasan risiko mengenai apa saja yang bisa ditanggung dari komponen cost overrun. Sehingga, dari situ, kita bisa perkirakan berapa sebenarnya maksimum yang bisa ditanggung oleh pemerintah, apakah 5%, 10%, atau bisa juga 100% dari kenaikan cost overrun,” tuturnya.

Kedua, Ahmad juga menjelaskan bahwa jangka waktu dalam penjaminan APBN terhadap biaya proyek yang bengkak harus ada. Menurutnya, tidak mungkin kalau pemerintah terus-terusan menambal utang tersebut hingga lunas. Ia menyarankan agar empat BUMN yang menjadi konsorsium dari proyek ini untuk dapat menanggung utang tersebut dari pendapatan tahunan yang mereka peroleh.

Untuk diketahui, Proyek kereta cepat selama ini dipegang oleh 4 konsorsium BUMN yang terdiri dari PT Kereta Api, Wijaya Karya, Jasa Marga dan PTPN VIII. Konsorsium ini dipimpin oleh PT Kereta Api Indonesia.

“Yang kedua, time period. Tentu saja ini harus ada batasan. Nggak mungkin selama, katakanlah lebih kurang 50 tahun, pemerintah harus memberikan dukungan 100% begitu ya. Karena kan 4 BUMN ini tiap tahun juga menghasilkan keuntungan yang saya kira untuk bisa menambal,” bebernya. 

Risiko Bagi APBN

Selanjutnya, Ahmad menilai bahwa penetapan APBN sebagai jaminan dari bengkaknya biaya proyek KCJB merupakan suatu tindakan yang sangat berisiko. Pasalnya, jika benar-benar menjadi jaminan, akan ada kemungkinan bahwa APBN akan memberikan penyertaan modal negara kepada proyek ini secara rutin. Tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan. 

"Ini sangat berisiko karena ada kemungkinan APBN di tahun-tahun mendatang memberikan penyertaan modal negara kepada Kereta Cepat dan ini berpotensi akan rutin ya, setiap tahun," tukasnya. 

Pasalnya, ia menilai, jika APBN terus-terusan menggelontorkan dana untuk proyek ini, maka akan mengganggu pembiayaan terhadap program-program lainnya. Mengingat, APBN seharusnya diperuntukan untuk mendanai program-program yang sifatnya lebih mendesak. 

"Harusnya APBN bisa mendanai program-program yang lebih urgen, tetapi di sini harus mengalokasikan sebagian anggarannya untuk PMN atau kereta cepat, ini yang disayangkan," jelasnya.

Sementara itu, Ketua Komisi V DPR, Lasarus, menilai bahwa pemerintah kurang cermat dan tidak mengantisipasi munculnya tuntutan pemerintah dari negeri tirai bambu tersebut untuk menjadikan APBN sebagai jaminan. 

"Saya rasa ini terjadi karena pemerintah kita, menurut saya tidak cermat di awal sehingga membuat China berani menekan kita untuk meminta jaminan dari APBN," ujar Lasarus dalam pernyataanya, Selasa (18/4/2023). 

Ia tidak setuju dengan regulasi pemerintah yang menjadikan APBN sebagai jaminan utang proyek KCJB, sebab dipastikan akan memberikan risiko yang besar bagi keberlanjutan APBN. Lebih lanjut, ia menyayangkan tindakan pemerintah yang baru membicarakan skema utang setelah proyeknya selesai.

“Saya tidak setuju dengan skema itu. Pemerintah Indonesia sudah biasa melakukan pinjaman luar negeri untuk berbagai kegiatan pembangunan di Indonesia, dan harusnya skema pengembaliannya seperti apa dibicarakan dari awal. Tidak seperti sekarang, ketika keretanya sudah selesai, baru dibicarakan skema utang," tegasnya. 

Bagaimana Seharusnya Penanggulangan Resikonya?

Ahmad mengatakan bahwa setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk dapat menanggulangi risiko dari beban utang proyek KCJB terhadap APBN. Pertama, keempat konsorsium BUMN tersebut harus menanggung beban dengan pendapatan tahunan yang mereka peroleh. 

“Yang pertama, saya kira keempat BUMN itu bisa menanggung beban proyek ini,” ujarnya.

Kedua, pemerintah harus bisa mengurangi bengkaknya biaya proyek ini dengan cara, misalnya, mempekerjakan tenaga kerja lokal dan menggunakan bahan baku dari produk lokal dibandingkan dengan luar negeri. 

“Yang kedua adalah, bagaimana bisa mengurangi cost overrun yang terjadi maupun yang akan terjadi. Misalnya, biaya tenaga kerja. Kalau kita menggunakan tenaga kerja lokal, itu salary-nya bisa lebih rendah ketimbang harus menggunakan tenaga kerja luar negeri. Itu kan bisa mengurangi biaya, sehingga, kita bisa lebih efisien. Kemudian juga bahan baku untuk pemeliharaan dan juga fasilitas pendukung lainnya yang saya kira akan lebih efisien dan murah jika menggunakan produk lokal,” tuturnya. 

Baca Juga: Presiden Jokowi Jajal Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan KA Feeder, KAI Bakal Kawal Operasional KCJB

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: